Traveling
Pengembangan Pola Pikir Kritis dan Kreatif melalui Teknologi AI dalam Proses Pembelajaran bersama Prof. Stella Christie

Pengembangan Pola Pikir Kritis dan Kreatif Melalui Tenkologi AI dalam Proses Pembelajaran Kuliah umum yang dibawakan oleh Prof. Stella Christie, Ph.D membuka pandangan baru tentang bagaimana kecerdasan buatan seharusnya hadir di dunia pendidikan. Sebagai seorang ilmuwan kognitif dan pejabat di Kementerian Pendidikan Tinggi, beliau mengawali penjelasannya dengan menekankan bahwa AI bukan musuh, melainkan mitra belajar. Teknologi ini bukan diciptakan untuk menggantikan peran manusia, tetapi justru untuk memperkuat kemampuan siswa dalam berpikir secara lebih tajam dan kreatif. Beliau mengajak peserta melihat bahwa berpikir kritis bukan hanya kemampuan menilai benar–salah, tetapi juga seni memahami informasi secara mendalam: memeriksa sumber, menimbang argumen, lalu membuat keputusan berdasarkan alasan yang kuat. Di sisi lain, kreativitas dianggap sama pentingnya—bukan lagi sebatas bakat, melainkan sebuah keterampilan yang dapat diasah, terutama dengan bantuan alat-alat digital masa kini. Tantangan terbesar, kata Prof. Stella, muncul ketika siswa terlalu cepat meminta jawaban pada AI tanpa melalui proses berpikir terlebih dahulu. Ketergantungan inilah yang perlu diwaspadai. Dalam sesi berikutnya, ia menunjukkan bagaimana AI sebenarnya dapat membuka banyak peluang baru dalam belajar. Contoh yang ia berikan cukup dekat dengan kehidupan mahasiswa: sistem pembelajaran adaptif yang menyesuaikan materi menurut kemampuan pengguna, alat generatif seperti ChatGPT dan DALL·E yang bisa membantu ide kreatif, hingga simulasi ilmiah dan analisis data besar untuk kebutuhan riset. Dengan berbagai fasilitas ini, kelas bukan lagi ruang pasif; ia bisa berubah menjadi tempat eksplorasi tanpa batas. Meski begitu, Prof. Stella mengingatkan bahwa teknologi tetap memiliki sisi yang harus diwaspadai. Ada risiko bias dalam algoritma, isu keamanan data, dan kesenjangan akses. Karena itu, pendidik harus membimbing siswa untuk memahami etika penggunaan AI—kapan teknologi layak digunakan, dan kapan harus kembali pada kemampuan berpikir manusia. AI bisa memberi jawaban, tetapi hanya manusia yang punya empati dan intuisi. Menariknya, Prof. Stella juga membagikan pengalamannya sebagai peneliti, dari menyusun gagasan hingga memublikasikan hasilnya. Ia menekankan bahwa penelitian bukan proses instan; semuanya berawal dari menemukan topik yang relevan, bekerja sama dengan tim lintas bidang, hingga berani melewati proses review yang tidak selalu mudah. Beliau mendorong mahasiswa agar mulai menulis dan memublikasikan penelitian, walau masih di tingkat lokal, karena publikasi adalah cara sebuah ide bisa menjangkau lebih banyak orang. Di akhir penjelasannya, Prof. Stella menyimpulkan bahwa teknologi AI baru akan menjadi kekuatan jika digunakan secara bijak. Ia mengajak para peserta untuk berani mencoba, belajar, dan memanfaatkan AI sebagai ruang latihan berpikir. Bagi pendidik, teknologi ini bisa menjadi alat untuk memperkaya pembelajaran; bagi peneliti, AI adalah jembatan untuk melahirkan inovasi baru. Yang terpenting, manusia tetap memegang kemudi, sementara AI menjadi sarana untuk memperbesar potensi itu.


Pengembangan Pola Pikir Kritis dan Kreatif Melalui Tenkologi AI dalam Proses
Pembelajaran
Kuliah umum yang dibawakan oleh Prof. Stella Christie, Ph.D membuka pandangan baru tentang bagaimana kecerdasan buatan seharusnya hadir di dunia pendidikan. Sebagai seorang ilmuwan kognitif dan pejabat di Kementerian Pendidikan Tinggi, beliau mengawali penjelasannya dengan menekankan bahwa AI bukan musuh, melainkan mitra belajar. Teknologi ini bukan diciptakan untuk menggantikan peran manusia, tetapi justru untuk memperkuat kemampuan siswa dalam berpikir secara lebih tajam dan kreatif.
Beliau mengajak peserta melihat bahwa berpikir kritis bukan hanya kemampuan menilai benar–salah, tetapi juga seni memahami informasi secara mendalam: memeriksa sumber, menimbang argumen, lalu membuat keputusan berdasarkan alasan yang kuat. Di sisi lain, kreativitas dianggap sama pentingnya—bukan lagi sebatas bakat, melainkan sebuah keterampilan yang dapat diasah, terutama dengan bantuan alat-alat digital masa kini. Tantangan terbesar, kata Prof. Stella, muncul ketika siswa terlalu cepat meminta jawaban pada AI tanpa melalui proses berpikir terlebih dahulu. Ketergantungan inilah yang perlu diwaspadai.
Dalam sesi berikutnya, ia menunjukkan bagaimana AI sebenarnya dapat membuka banyak peluang baru dalam belajar. Contoh yang ia berikan cukup dekat dengan kehidupan mahasiswa: sistem pembelajaran adaptif yang menyesuaikan materi menurut kemampuan pengguna, alat generatif seperti ChatGPT dan DALL·E yang bisa membantu ide kreatif, hingga simulasi ilmiah dan analisis data besar untuk kebutuhan riset. Dengan berbagai fasilitas ini, kelas bukan lagi ruang pasif; ia bisa berubah menjadi tempat eksplorasi tanpa batas.
Meski begitu, Prof. Stella mengingatkan bahwa teknologi tetap memiliki sisi yang harus diwaspadai. Ada risiko bias dalam algoritma, isu keamanan data, dan kesenjangan akses. Karena itu, pendidik harus membimbing siswa untuk memahami etika penggunaan AI—kapan teknologi layak digunakan, dan kapan harus kembali pada kemampuan berpikir manusia. AI bisa memberi jawaban, tetapi hanya manusia yang punya empati dan intuisi.
Menariknya, Prof. Stella juga membagikan pengalamannya sebagai peneliti, dari menyusun gagasan hingga memublikasikan hasilnya. Ia menekankan bahwa penelitian bukan proses instan; semuanya berawal dari menemukan topik yang relevan, bekerja sama dengan tim lintas bidang, hingga berani melewati proses review yang tidak selalu mudah. Beliau mendorong mahasiswa agar mulai menulis dan memublikasikan penelitian, walau masih di tingkat lokal, karena publikasi adalah cara sebuah ide bisa menjangkau lebih banyak orang.
Di akhir penjelasannya, Prof. Stella menyimpulkan bahwa teknologi AI baru akan menjadi kekuatan jika digunakan secara bijak. Ia mengajak para peserta untuk berani mencoba, belajar, dan memanfaatkan AI sebagai ruang latihan berpikir. Bagi pendidik, teknologi ini bisa menjadi alat untuk memperkaya pembelajaran; bagi peneliti, AI adalah jembatan untuk melahirkan inovasi baru. Yang terpenting, manusia tetap memegang kemudi, sementara AI menjadi sarana untuk memperbesar potensi itu.





Shely Triana

Shely Triana adalah anggota komunitas Literasiliwangi yang bergabung sejak May 2024



0 Komentar





Traveling Lainnya