Traveling
Sate Maranggi Nyawa Kuliner Purwakarta Cerminan Rasa dan Budaya Sunda
Sate Maranggi Nyawa Kuliner Purwakarta Cerminan Rasa dan Budaya Sunda

Sate maranggi merupakan makanan khas Purwakarta yang paling dikenal. Sate maranggi ini bukan sekadar sate biasa, melainkan warisan rasa yang tumbuh dari sejarah panjang masyarakat Plered sejak 1960-an. Dari racikan bumbu khas yang diwariskan turun-temurun hingga penyebarannya ke berbagai sentra kuliner di Purwakarta. Proses pembakaran tradisional serta kuatnya nilai budaya di balik setiap tusuk menjadikan sate maranggi bukan hanya kebanggaan warga Purwakarta, tetapi juga simbol identitas daerah yang melekat hingga kini.

Setiap daerah punya cerita yang terbungkus dalam aroma masakannya, dan bagi Purwakarta, kisah itu tersimpan dalam setiap tusuk sate maranggi. Di balik kepulan asap arang yang menari lembut di udara, ada sejarah panjang dan rasa kebanggaan yang tak lekang oleh waktu. Sate maranggi bukan sekadar makanan , ia adalah bagian dari jantung kehidupan orang Sunda, yang menyatukan cita rasa, budaya, dan kehangatan pertemuan di meja makan.

Sejarah sate maranggi bermula di Kecamatan Plered, Purwakarta. Sate maranggi yang populer sebagai kuliner khas Purwakarta kini telah menyebar ke berbagai daerah seperti Cianjur dan Bandung. Berdasarkan hasil penelitian Irvan Setiawan, peneliti utama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX Jawa Barat, sate maranggi telah dikenal sejak 1960. Penjual pertama sate maranggi adalah seorang pria bernama Mang Udeng. Ia dikenal sebagai sosok sederhana namun penuh inovasi. Saat itu, sate Madura mulai dikenal di Jawa Barat, tetapi Mang Udeng mencoba menghadirkan sesuatu yang khas dari daerahnya. Ia menggunakan daging sapi dan kerbau, kemudian merendamnya dalam bumbu yang terbuat dari bawang putih, ketumbar, jahe, dan kecap manis. Daging yang direndam selama berjam-jam itu dibakar perlahan di atas bara arang hingga bumbunya meresap sempurna. Dari dapur sederhana itulah lahir cita rasa yang kelak menjadi ikon kuliner Purwakarta. Nama “maranggi” memiliki cerita yang tak kalah menarik. Dalam bahasa Sunda lama, maranggi berarti pengrajin logam atau tukang ukir, orang yang telaten dan detail dalam pekerjaannya. Nama ini dianggap menggambarkan ketelitian pembuat sate yang meracik bumbu dan memanggang daging dengan sabar hingga matang sempurna. Namun ada juga cerita lain yang hidup di masyarakat, konon dulu ada seorang perempuan keturunan Tionghoa bernama Mak Ranggi yang menjual sate di Plered. Karena kelezatannya, orang-orang menyebut dagangannya “sate Mak Ranggi”, dan sebutan itu lama-lama berubah menjadi “sate maranggi”. Terlepas dari versi mana yang paling akurat, keduanya menegaskan bahwa sate maranggi lahir dari pertemuan budaya Sunda dan Tionghoa yang berpadu dalam satu cita rasa.

Ketenaran sate maranggi membuat Plered berubah menjadi pusat kuliner yang ramai dikunjungi. Sejak awal tahun 1990-an, di sepanjang jalan raya Plered hingga Pasar Rebo, pedagang-pedagang sate maranggi mulai bermunculan dengan tenda sederhana dan tungku arang di pinggir jalan. Aroma daging yang dibakar dengan bumbu rendaman khas Sunda menjadi penanda khas kawasan ini. Namun seiring bertambahnya waktu, jumlah pedagang yang makin banyak menimbulkan persoalan baru. Jalanan macet karena banyak kendaraan berhenti untuk membeli sate, lapak-lapak berdiri tanpa teratur, dan lingkungan sekitar menjadi semrawut. Melihat kenyataan itu, Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta saat itu, memutuskan untuk menata ulang kawasan kuliner khas ini. Ia menilai bahwa sate maranggi bukan sekadar makanan, tetapi juga warisan budaya masyarakat Sunda yang harus dijaga dan dikembangkan. Maka lahirlah gagasan besar untuk membangun Kampung Sate Maranggi Plered, sebuah tempat khusus yang menampung para pedagang sate dalam satu kawasan yang tertata, nyaman, dan layak dikunjungi wisatawan. Gagasan itu berangkat dari kepedulian Dedi Mulyadi terhadap pedagang kecil yang selama ini berjualan seadanya di pinggir jalan.

Pembangunan Kampung Sate Maranggi dilakukan di depan Kecamatan Plered yang berdampingan dengan stasiun Plered. Pemerintah Kabupaten Purwakarta menyiapkan lahan permanen lengkap dengan fasilitas umum seperti area parkir, penerangan, air bersih, dan tempat duduk bagi pengunjung. Para pedagang yang semula berjualan di pinggir jalan direlokasi ke kawasan ini tanpa dikenakan biaya sewa tinggi. Yang menarik, di Kampung Sate Maranggi ini tidak hanya ada satu penjual sate, tetapi puluhan pedagang yang masing-masing memiliki racikan bumbu dan gaya penyajian berbeda. Setiap penjual memiliki pelanggan setia, dan pengunjung biasanya mencoba beberapa jenis sate dari lapak yang berbeda untuk menemukan favorit mereka sendiri. Perbedaan rasa inilah yang justru menjadi daya tarik utama Kampung Sate Maranggi, satu tempat, banyak pilihan cita rasa. Seiring waktu, kawasan ini menjelma menjadi ikon wisata kuliner Purwakarta. Setiap akhir pekan, puluhan mobil berhenti di area parkirnya, dan aroma daging bakar memenuhi udara. Para wisatawan dari Jakarta, Bandung, hingga Cirebon sengaja mampir untuk menikmati sate di tempat asalnya. Dedi Mulyadi sendiri beberapa kali meninjau langsung kawasan ini, memastikan bahwa para pedagang tetap menjaga kualitas, kebersihan, dan kenyamanan pengunjung. Ia juga menggagas pembentukan Paguyuban Sate Maranggi Plered, wadah bagi para pedagang untuk mengatur sistem penjualan, menjaga rasa, serta memelihara kebersamaan antarpenjual. Kini, Kampung Sate Maranggi bukan hanya sekadar tempat makan, melainkan simbol keberhasilan pemberdayaan masyarakat lokal. Dari lapak-lapak kecil di pinggir jalan, para penjual kini memiliki ruang yang lebih layak dan berdaya saing tinggi.

Tak hanya di Plered, legenda sate maranggi juga tumbuh kuat di wilayah Cibungur, Purwakarta. Di sinilah berdiri salah satu warung sate paling tersohor di Jawa Barat, Sate Maranggi Haji Yetti. Nama ini bukan hanya dikenal oleh warga Purwakarta, tetapi juga oleh wisatawan dari berbagai daerah. Di balik kesuksesan besar itu, tersimpan kisah sederhana tentang ketekunan keluarga dan kesetiaan menjaga cita rasa tradisional khas Sunda. Sate maranggi Haji Yetti ini berawal dari usaha kecil yang dirintis oleh Haji Rasta, ayah dari Haji Yetti. Pada awalnya, keluarga ini berjualan es kelapa muda dan camilan ringan pada tahun 1980-an. Namun pada awal 1990-an, Haji Yetti bersama keluarganya memutuskan untuk melanjutkan usaha keluarga dengan membuka warung sate maranggi di tepi Jalan Raya Cibungur. Lokasinya yang strategis di jalur utama antara Jakarta dan Bandung membuat banyak pelancong mampir. Dari sinilah nama Sate Maranggi Haji Yetti perlahan naik daun dan menjadi ikon kuliner Purwakarta. Cita rasa sate maranggi buatan Haji Yetti dikenal sangat khas. Soal harga, Sate Maranggi Haji Yetti memang dikenal lebih mahal dibandingkan sate maranggi lain di Purwakarta. Harga per tusuknya berkisar Rp4.000–Rp6.000, tergantung jenis daging dan porsi yang dipilih. Meski begitu, harga tersebut dianggap sepadan dengan kualitas dan kelezatan yang ditawarkan. Tak hanya wisatawan biasa, banyak tokoh publik, pejabat, dan selebritas yang menjadi pelanggan tetapnya. Beberapa di antaranya datang secara rutin setiap kali melewati jalur tol Cipularang,  mulai dari pejabat daerah, artis, hingga rombongan wisata kuliner dari berbagai kota besar. Di akhir pekan, area parkir yang luas di depan warung sering dipenuhi mobil pribadi dan bus wisata yang datang hanya untuk menikmati sate legendaris ini.

Popularitas sate maranggi Haji Yetti ini pun semakin meluas setelah sering tampil di berbagai program televisi nasional. Kehangatan pribadi Haji Yetti selalu mencuri perhatian. Ia dikenal ramah, sederhana. Ia tetap turun langsung mengawasi proses pembakaran, memastikan setiap tusuk sate memiliki cita rasa yang sama seperti dulu saat ia baru mulai berjualan. Kini, Sate Maranggi Haji Yetti tidak hanya dikenal sebagai tempat makan, tetapi juga sebagai destinasi wisata kuliner yang melekat dalam identitas Purwakarta. Tempatnya mampu menampung ratusan pengunjung dalam satu waktu, dengan pelayanan yang cepat dan suasana yang nyaman. Banyak pengunjung mengatakan bahwa perjalanan menuju Purwakarta belum lengkap tanpa berhenti di warung ini. Kesuksesan Sate Maranggi Hj. Yetti di Cibungur tak berhenti di satu titik. Cita rasa autentik yang ia pertahankan sejak puluhan tahun membuat banyak pelanggan setia datang kembali, bahkan dari luar Purwakarta. Melihat antusiasme yang begitu besar, Hj. Yetti kemudian mulai membuka beberapa cabang di kota besar seperti Bandung dan Jakarta, agar para pencinta sate maranggi tak perlu jauh-jauh datang ke Cibungur. Meskipun cabang-cabangnya berdiri di kota modern, cita rasa yang dihadirkan tetap sama, bumbu rendaman khas dengan sentuhan rempah tradisional, daging yang empuk, dan sambal tomat segar yang menjadi ciri khasnya. Setiap cabang tetap membawa nama Purwakarta di depan papan nama, seolah menjadi pengingat bahwa akar rasa sejati sate maranggi tetap tumbuh dari Purwakarta.

Di sisi lain, Tak jauh dari pusat kota Purwakarta, di Desa Sawit Kecamatan Darangdan, berdiri sebuah tempat makan yang kini menjadi legenda kuliner lokal, Sate Maranggi Kolong. Nama “kolong” bukanlah kiasan, melainkan benar-benar menggambarkan lokasi warung ini yang berada di bawah kolong jembatan Tol Cipularang Km 99. Pemandangan yang tak biasa itu justru menjadi daya tarik tersendiri. Di bawah bayang-bayang beton besar, aroma daging yang dibakar berpadu dengan suara kendaraan yang melintas di atas kepala,  sebuah perpaduan antara hiruk-pikuk modernitas dan kehangatan tradisi yang berpadu secara unik. Warung ini bermula sekitar tahun 2005, bertepatan dengan dibukanya ruas Tol Cipularang. Seorang penjual bernama Abah Manaf memutuskan untuk membuka lapak sate di bawah jembatan tol tersebut. Awalnya, banyak orang menganggap idenya aneh, bahkan berisiko. Namun siapa sangka, dari tempat yang sederhana itu lahir salah satu ikon kuliner terkenal di Purwakarta.

Seiring waktu, usaha Abah Manaf berkembang pesat dan kini diteruskan oleh keluarganya. Generasi penerus Iip Fauzi dan Abdul Kohar menjalankan warung tersebut dengan sistem dua shift, dari pagi hingga dini hari, agar bisa melayani para pengunjung yang datang tanpa henti. Di akhir pekan, antrean kendaraan sering kali memenuhi area sekitar kolong tol. Para pengunjung datang dari berbagai kota, bukan hanya untuk makan, tetapi juga untuk merasakan pengalaman kuliner yang unik: menikmati sate di bawah jembatan besar sambil merasakan getaran dari kendaraan yang melintas di atas kepala mereka. Meski tempatnya tidak mewah, suasana di sana terasa akrab dan hidup. Lampu-lampu bohlam menggantung di antara tiang-tiang beton, meja kayu berjejer rapi, dan asap sate yang menari di udara membuat suasana menjadi hangat. Dalam sehari, terutama di akhir pekan, ribuan tusuk sate bisa terjual, bahkan mencapai 15 hingga 20 ribu tusuk. Bayangkan, ratusan kilogram daging sapi diolah setiap harinya hanya untuk memenuhi antusiasme para penikmat sate maranggi yang datang silih berganti.

Selain Kampung Maranggi Plered, Sate Maranggi Haji Yetti, dan Sate Maranggi Kolong, masih banyak lagi penjual sate maranggi terkenal yang tersebar di berbagai sudut Purwakarta. Setiap daerah atau kecamatan yang ada di Purwakarta memiliki cita rasa khas tersendiri, namun semuanya tetap mempertahankan kelezatan asli sate maranggi yang menjadi kebanggaan kuliner Purwakarta.

Di masa kepemimpinan Dedi Mulyadi pula, sate maranggi tidak hanya diangkat sebagai ikon kuliner, tetapi juga sebagai simbol budaya Purwakarta. Ia memperkenalkan “Tari Sate Maranggi”, sebuah tarian kreasi yang menggambarkan semangat dan kerja keras masyarakat dalam mengolah sate. Dalam setiap gerakannya, penari memperagakan kegiatan membakar sate, mengipasi bara, dan menyajikan makanan dengan senyum ramah. Tarian ini tampil dalam berbagai festival budaya dan bahkan menjadi perlombaan rutin yang diikuti siswa-siswa sekolah yang ada di Purwakarta. Melalui seni ini, Dedi Mulyadi ingin menanamkan rasa bangga terhadap warisan lokal yang bukan hanya lezat di lidah, tetapi juga indah di mata. Sate maranggi telah menjadi bagian dari identitas Purwakarta yang tidak tergantikan. Banyak perantau membuka cabangnya di berbagai kota besar, tetapi menikmati sate maranggi di tanah kelahirannya memiliki nuansa yang berbeda. Duduk di kursi bambu, di bawah langit senja Purwakarta, sambil mencium aroma arang yang terbakar dan mendengar suara desisan daging yang sedang dipanggang, membuat siapa pun merasa pulang, meski bukan orang sana.

Kini, nama sate maranggi memang sudah tidak asing di banyak daerah di Indonesia. Hampir di setiap kota besar seperti Bandung, Bekasi, Bogor, bahkan Jakarta, mudah ditemukan tempat makan yang menyajikan menu ini. Namun, Purwakarta adalah tempat asalnya, tanah di mana sate maranggi pertama kali dikenal dan diwariskan turun-temurun. Di sinilah cita rasa aslinya lahir, tumbuh, dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Sate maranggi bukan sekadar kuliner, melainkan simbol identitas Purwakarta. Setiap tusuknya memuat cerita panjang tentang tradisi, kerja keras, dan rasa bangga warga setempat. Meski kini banyak penjual sate maranggi di luar Purwakarta, para pencinta kuliner sejati tahu bahwa rasa terbaik tetap ada di daerah asalnya. Di setiap sudut Purwakarta dari Plered, Cibungur, hingga Sadang, aroma arang dan daging bakar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sanalah warisan rasa dijaga dengan sepenuh hati, menjadikan sate maranggi bukan hanya kebanggaan kuliner, tetapi juga simbol jati diri Purwakarta sebagai pusat cita rasa khas Sunda yang tak lekang oleh waktu.

Referensi

Anwar, S. (2024). Asal-usul Sate Maranggi dan Lokasi Awal Penyebarannya di Purwakarta. TEMPO. https://www.tempo.co/hiburan/asal-usul-sate-maranggi-dan-lokasi-awal-penyebarannya-di-purwakarta--53667

Rizky, P. (2022). Mengenal Sate Maranggi, Sate Terenak Asal Purwakarta. GoodNews. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/11/26/sate-maranggi





Fitria Ningsih

Fitria Ningsih adalah anggota komunitas Literasiliwangi yang bergabung sejak Dec 2023



0 Komentar





Traveling Lainnya