Traveling
JEJAK MANUSIA PURBA DAN KEARIFAN LOKAL DI GUA PAWON YANG TAK LEKANG OLEH WAKTU.
JEJAK MANUSIA PURBA DAN KEARIFAN LOKAL DI GUA PAWON YANG TAK LEKANG OLEH WAKTU.

Di balik tebing-tebing kapur Citatah, Gua Pawon menyimpan kisah panjang tentang manusia purba dan budaya Sunda. Temuan arkeologis di dalamnya menunjukkan bahwa kawasan ini telah menjadi ruang hidup sejak ribuan tahun lalu, sementara tradisi masyarakat setempat menegaskan pentingnya menjaga alam sebagai bagian dari warisan leluhur.

Kalau kamu pernah melewati daerah Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, mungkin kamu tidak menyangka bahwa di balik perbukitan kapur yang menjulang itu tersimpan sebuah tempat luar biasa bernama Gua Pawon. Gua ini bukan sekadar lubang besar di batu, tapi ruang hidup yang menyimpan jejak manusia purba, nilai budaya, sekaligus kearifan lokal masyarakat Sunda yang pernah menapaki bumi Parahyangan jauh sebelum kota dan jalanan aspal ada.

Sebelum berbicara tentang Gua Pawon, penting untuk memahami latar geologis wilayah Cipatat. Menurut (Fitriana, 2023) , Kawasan karst Citatah terbentuk pada era Miosen, sekitar 20-30 juta tahun lalu, ketikan Kawasan tersebut masih merupakan dasar laut yang dangkal. Lapisan batu kapur (limestone) yang kini menjadi ciri khas perbukitan di Cipatat adalah bukti konkret bahwa dulunya permukaan wilayah ini terendam air laut. Bahkan, para ahli menemukan fosil karang dan organisme laut di beberapa titik bukit, yang secara jelas menunjukkan eksistensi ekosistem laut purba di masa lampau. Proses alam yang panjang itu menjadikan Cipatat sebagai daerah unik yang menggabungkan nilai geologis, arkeologis, dan kultural dalam satu kawasan.

Bagi masyarakat sekitar, Gua Pawon bukan hanya tempat wisata atau situs sejarah. Ia juga dianggap tempat yang memiliki nilai spiritual dan budaya tinggi. Kata “Pawon” sendiri berarti dapur dalam bahasa Sunda tempat yang menjadi sumber kehidupan (Jatnika, 2021). Nama ini mencerminkan pandangan hidup orang Sunda yang selalu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Gua pawon ditemukan sebagai situs arkeologi penting setelah para peneliti menemukan fosil manusia prasejarah yang dikenal sebagai Manusia Pawon (Dwi, 2022). Penemuan ini menunjukkan bahwa daerah Cipatat sudah dihuni sejak ribuan tahun silam. Bukan hanya fosil manusia, tapi juga alat bantu dan sisa-sisa makanan yang menggambarkan kehidupan sederhana namun cerdas dari nenek moyang masyarakat sunda. Namun yang menarik bukan hanya peninggalannya, melainkan bagaimana masyarakat sekitar menjaga dan menghormati situs ini warisan leluhur.

Kearifan Lokal di Sekitar Gua Pawon

Leuweung Karuhun: Hutan Leluhur

Bagi warga Cipatat, mereka menyebutnya juga sebagai “Leuweung Karuhun”, hutan leluhur yang harus dihormati. Disekiling gua, masyarakat masih menjaga tradisi lama seperti ngaruwat lembur, ritual sederhana untuk mensyukuri rezeki dan memohon keselamatan kampung. Saat itu, warga berkumpul membawa hasil bumi, berdoa bersama, lalu makan dengan lauk sederhana di bawah rindang pohon jati. Di balik kesederhanaannya, tersimpan filosofi besar, manusia dan alam adalah salah satu kesatuan yang tak boleh saling merugikan.

Tradisi Ngaruwat Lembur

Salah satu tradisi masyarakat di sekita gua adalah ngaruwat lembur, sebuah ritual syukuran sederhana, di mana warga berkumpul membawa hasil bumi (misalnya padi, sayur, buah) berdoa bersama, kemudian makna bersama di alam terbuka, sering di bawah pohon jati besar. Tradisi ini memiliki makna mendalam yaitu ungkapan rasa terima kasih atas rezeki dan harapan keselamatan bagi kampung.

Konsep “Ngajaga Alam Sarua Jeung Ngajaga Kahirupan”

Masyarakat di sekitar Gua Pawon memegang teguh nilai “ngajaga alam sarua jeung ngajaga kahirupan” menjaga alam sama dengan menjaga kehidupan. Kearifan ini tercermin dari cara mereka mengelola Kawasan wisata tanpa merusak lingkungan. Misalnya, penduduk lokal terlibat langsung sebagai pemandu wisata, penjaga kebersihan dan pengrajin souvenir dari bahan alami seperti bambu atau batu kecil. Mereka tidak sekadar mencari nafkah, tapi juga ikut melestarikan budaya dan lingkungan.

Gua Pawon lebih dari sekadar objek wisata, ia adalah warisan bersama (Kurnia & Martza, 2024). Melalui jejak fosil manusia purba, kita diingatkan bahwa manusia telah hidup di tanah ini puluhan ribu tahun sebelum peradaban modern. Melalui kearifan lokal seperti tradisi ngaruwat lembur atau konsep leuweung karuhun, kita belajar bagaimana manusia dengan alam bisa diwariskan lintas generasi. Mempertahankan Gua Pawon berarti menjaga identitas dan akar budaya, serta memberi ruang bagi generasi mendatang untuk mengerti bahwa alam bukan sekadar sumber budaya, tapi juga sumber spiritual dan sejarah. Di tengah ancaman pertambangan batu kapur, wisata massal, dan akademisi sangatlah krusial.

Kini Gua Pawon dan Kawasan Stone Garden di sekitarnya menjadi destinasi favorit wisatawan yang ingin menikmati pemandangan alam, sejarah, dan budaya dalam satu tempat. Bagi masyarakat Cipatat, setiap wisatawan yang dating bukan hanya pengunjung, tapi juga “tamu alam” yang harus menghormati tempat suci. Itulah sebabnya, mereka selalu menekankan pentingnya menjaga sopan santun dan tidak merusak situs.

DAFTAR PUSTAKA

Dwi, E. (2022). POTENSI KAWASAN GUA PAWON SEBAGAI DESTINASI PARIWISATA BERKELANJUTAN. 3(2), 4737–4744.

FITRIANA, S. L. (2023). Jejak Laut Purba di Stone Garden Citatah di Padalarang. https://www.tempo.co/hiburan/jejak-laut-purba-di-stone-garden-citatah-di-padalarang-2055079

Jatnika, G. G. (2021). GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA (15): Gunung Guhapawon, Jejak Hunian Manusia Prasejarah Gua Pawon dan Taman Batu. https://bandungbergerak.id/article/detail/1945/gunung-gunung-di-bandung-raya-15-gunung-guhapawon-jejak-hunian-manusia-prasejarah-gua-pawon-dan-taman-batu

Kurnia, M. G., & Martza, S. K. (2024). Wisata Gua Pawon Menjadi Wisata Edukasi untuk Bidang Geografi. 3.





Senny Saikha Maharani

Senny Saikha Maharani adalah anggota komunitas Literasiliwangi yang bergabung sejak Dec 2023



0 Komentar





Traveling Lainnya