Kesenian tradisional mencerminkan identitas budaya daerah. Salah satu warisan seni khas Sunda yang masih lestari hingga saat ini adalah Calung, yaitu musik tradisional yang dimainkan menggunakan bilah-bilah bambu. Di balik bunyinya yang ringan namun berpola ritmis, Calung mengandung nilai sejarah, pesan sosial, serta tantangan dalam pelestariannya yang penting untuk dipahami.
Calung merupakan alat musik pukul yang berasal dari Jawa Barat. Instrumen ini tersusun dari bilahan bambu yang disusun hangendong (digantung) atau dipangku, kemudian dipukul menggunakan pemukul kayu kecil. Menurut Fitri ((Ibrahim et al., 2022) Calung merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terbuat dari bambu hitam atau “awi wulung”. Nada yang muncul membentuk tangga nada pentatonik atau diatonik, sesuai gaya garap pemainnya. Bunyi Calung dikenal ringan, renyah, dan membuat pendengarnya merasa dekat dengan suasana alam, sebab bambu sebagai bahan dasarnya telah lama menjadi simbol kesederhanaan hidup masyarakat Sunda.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata “Calung” merupakan singkatan di dalam bahasa Sunda yaitu C “carita” atau “cerita”. A yang berarti”alur” pada saat memainkan calungnya harus maksimal baik dari lagu, pukulan dan lain-lain. L yang yaitu “laras” atau genre lagu yang didalamnya terdapat laras pelok, majenda dan salendro. U yang berarti “undak usuk basa” atau tahapan bahasa baik untuk anak kecil, sebaya dan yang lebih tua. N yang berarti “nabeuh” atau pukulan dan G “guyonan” atau lawakan di dalamnya tidak mengandung sara, membuat penonton tersinggung tetapi guyonan yang ringan dan menghibur (Mardiani dkk, 2023).
Calung tidak hanya berfungsi sebagai hiburan pada ummumnya. Pada zaman dulu, kesenian ini digunakan untuk mengiringi upacara adat, pertunjukan rakyat, dan perayaan panen. Calung menjadi ruang interaksi sosial, tempat masyarakat berkumpul, bercengkerama, mengekspresikan rasa syukur, bahkan membangun kedekatan emosional antarwarga. Kesenian ini juga menjadi wadah pendidikan karakter, karena nilai kebersamaan dan harmoni terlihat dari cara pemain saling mengisi ritme dalam ensemble.
Secara musikal, Calung berkembang menjadi berbagai bentuk pertunjukan seperti Calung Banyumasan, Calung Sunda, hingga Calung kreasi. Beberapa bentuk pertunjukan memasukkan unsur vokal, lawakan, atau tari, sehingga tampil lebih atraktif. Kreativitas pelaku seni membuat Calung tetap relevan dan digemari anak muda, terutama saat dipentaskan di panggung seni, sekolah, atau kegiatan pemerintah.
Di kutip dari WordPress.com menurut Adinda di sunda itu ada dua jenis calung yang dimaikan:
Calung Rantay
Pada calung rantay, bilah bambunya itu dideretkan sejajar dengan kulit waru (lulub) dari yang terbesar hingga yang terkecil. Bilahan bambu berjumlah tujuh bilah atau lebih. Ada dua macam komposisii alat calung: satu deretan dan dua deretan (calung indung dan calung anak atau calung rncik). Calung rantay dimainkan dengan cara dipukul dengan dua tangan. Biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah seperti calung Banjaran/Bandung, ada juga calung yang dibuatkan ancakanya atau dudukan khusus dari bambu atau kayu seperti calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, dan Baduy.
Calung Jinjing
Calung Jinjing bentuknya berupa deretan bambu bernada yang disatukan denga sebilah bambu kecil (paniir). Calung jinjing terdiri dari empat atau lima bilah bambu, seperti calung kingking yang terdiri dari 12 bilah bambu, calung panepas terdiri dari 5, 3, dan 2 bambu, dan yang terakhir calung jongjrong terdiri dari 5 dan 3 bilah bambu. Dalam perkembangannya, kelengkapan calung saat ini ada yang menggunakan calung kingking satu buah, calung panempas dua buah, dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong. Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antara lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek, dan solorok.
Kendati masih hidup, Calung menghadapi tantangan berupa minimnya regenerasi pemain, perubahan selera hiburan, serta keterbatasan ruang tampil. Generasi muda lebih tertarik pada musik digital, sementara Calung membutuhkan waktu belajar dan ketekunan. Oleh sebab itu, pelestarian kesenian Calung harus dilakukan secara sistematis, mulai dari pembelajaran di sekolah, dukungan komunitas budaya, pelatihan seniman muda, hingga promosi pertunjukan di ruang publik. Pemerintah daerah juga perlu memberikan fasilitas serta program revitalisasi agar Calung tidak hanya menjadi artefak, tetapi pengalaman budaya yang terus dimainkan.
Calung bukan sekadar alat musik, melainkan simbol harmoni masyarakat Sunda: sederhana, hangat, dan menyatukan. Suara bambunya mengingatkan bahwa tradisi adalah akar yang memperkuat identitas bangsa. Menjaga keberlangsungan Calung berarti merawat warisan, memelihara memori kolektif, dan memastikan bahwa suara bambu itu tetap hidup mengalun dalam ruang-ruang budaya dan hati generasi yang akan datang.
Referensi
Mardiani, M. F., Nurhadi, Z. F., & Kurniawan, A. W. (2023). Makna Komunikasi Penyampaian Pesan Pada Alat Musik Tradisional Calung. 3(3), 161–174.
Adinda, CALUNG., PARA PAMIDANG SENI SUNDA.,WordPress.com https://papasenda.wordpress.com/calung/