Upacara dan Ritual Adat Sebagai Wujud Syukur kepada Alam.
Masyarakat Adat Cireundeu merupakan salah satu komunitas adat Sunda yang masih bertahan dan memelihara tradisi leluhur di tengah arus modernisasi. Berlokasi di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, masyarakat adat ini dikenal dengan prinsip hidup “ngindung ka waktu, mibapa ka jaman,” yakni sebuah falsafah yang mengajarkan bahwa manusia boleh mengikuti perkembangan zaman, tetapi tidak boleh meninggalkan akar tradisi dan nilai-nilai kearifan yang diwariskan oleh para leluhur. Kearifan lokal Cireundeu menjadi identitas budaya yang mengatur cara hidup, pola pikir, serta hubungan manusia dengan lingkungan. Salah satu wujud nyata kearifan tersebut adalah keberadaan upacara dan ritual adat yang masih berjalan hingga kini.
Ritual dan upacara adat masyarakat Cireundeu selalu berkaitan erat dengan alam. Hal ini tidak lepas dari pandangan hidup mereka yang menempatkan alam sebagai sumber kehidupan sekaligus ruang sakral yang harus dihormati. Sebagai komunitas yang menjadikan rasi olahan singkong sebagai makanan pokok pengganti beras, masyarakat Cireundeu mengembangkan sistem pertanian mandiri sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Menurut Rosliani & Wiharti (2020), perubahan pola konsumsi beras ke rasi bukan hanya keputusan ekonomi, tetapi juga pernyataan budaya bahwa ketergantungan pada beras harus dikurangi untuk menjaga keinginan alam dan kemandirian pangan. Dengan demikian, praktik pertanian singkong dan pengolahan rasi bukan sekedar aktivitas produksi, melainkan bagian dari ritual budaya yang menjunjung prinsip keinginan.
Salah satu ritual paling penting dalam tradisi Cireundeu adalah Upacara Tutung Rasi, yaitu ritual syukuran tahunan yang dilakukan sebagai ungkapan terima kasih atas panen singkong dan kesejahteraan masyarakat. Dalam upacara ini, masyarakat melakukan prosesi pembakaran rasi sebagai simbol pembersihan diri dan rasa syukur kepada alam serta leluhur. Upacara ini juga menjadi momen untuk memperkuat kohesi sosial, karena melibatkan seluruh anggota komunitas dan tokoh adat. Menurut Rohim (2017), ritual Tutung Rasi merupakan simbol transendental yang menghubungkan manusia dengan kekuatan alam dan leluhur, serta mengingatkan masyarakat agar senantiasa menjaga kelestarian lingkungan. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, ritual ini menjadi ruang kontemplasi bahwa manusia hidup berdampingan dengan alam dan harus memelihara keseimbangannya.
Selain Tutung Rasi, ada pula ritual Mapag Taun atau upacara menyambut tahun baru adat. Pada ritual ini, masyarakat mendoakan keselamatan dan keberkahan untuk tahun mendatang. Tradisi ngajayak atau makan bersama menjadi bagian penting dalam membangun kebersamaan dan rasa saling menghargai. Ritual syukuran panen dan gotong royong dalam pengelolaan lahan juga menjadi praktik rutin yang terus dipelihara. Semua ritual tersebut mengajarkan nilai kebersamaan, kerja sama, dan penghormatan terhadap alam. Upacara bukan hanya sebagai simbol spiritual, tetapi juga sarana internalisasi nilai pada generasi muda agar tidak melupakan akar budaya mereka.
Kearifan lokal Cireundeu juga berfungsi sebagai pedoman sosial yang mengatur hubungan antarindividu. Nilai-nilai seperti gotong royong, kerendahan hati, kesederhanaan, dan rasa syukur terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Setiawan (2020), tradisi Cireundeu mampu membentuk karakter masyarakat yang berorientasi pada harmoni dan keseimbangan. Mereka tidak hanya mengolah alam, tetapi menjaganya agar tetap lestari. Praktik pertanian ramah lingkungan, penghematan lahan, dan pemanfaatan hasil alam secara maksimal merupakan contoh konkret dari upaya pelestarian lingkungan berbasis lokal.
Dalam konteks modern, kearifan lokal Cireundeu menghadapi tantangan besar dari urbanisasi dan perubahan gaya hidup. Namun, masyarakat Cireundeu berhasil mempertahankan ritus dan nilai budayanya tanpa menutup diri dari perkembangan teknologi. Pemerintah daerah juga mendukung pelestarian budaya ini sebagai bagian dari identitas daerah Cimahi. Menurut Dinas Kebudayaan Kota Cimahi (2021), Cireundeu dijadikan wilayah penting dalam pengembangan budaya lokal karena keunikan tradisinya yang masih lestari hingga kini. Upaya pelestarian dilakukan melalui kegiatan edukasi, festival budaya, dan dokumentasi sejarah adat.
Dengan demikian, kearifan lokal Cireundeu merupakan aset budaya yang sangat berharga. Ritual dan upacara adat sebagai wujud syukur kepada alam tidak hanya mempertahankan identitas komunitas adat, tetapi juga memberikan contoh nyata bagaimana masyarakat tradisional mampu menjaga kelestarian alam melalui praktik budaya. Kearifan ini seharusnya dijadikan sumber inspirasi bagi masyarakat luas dalam mempertahankan lingkungan dan nilai-nilai budaya di tengah perubahan zaman.