Kabupaten Bandung, dengan Soreang sebagai ibu kota administratifnya, bukan sekadar pusat pemerintahan, melainkan jantung kebudayaan Sunda yang masih berdetak kuat di tengah arus modernitas. Di antara hiruk-pikuk lalu lintas dan gedung-gedung pemerintahan, berdiri Gedung Budaya Sabilulungan, sebuah monumen hidup yang menjadi kearifan lokal khas Soreang satu-satunya di Jawa Barat. Gedung ini diresmikan pada tahun 2010 oleh Bupati Bandung saat itu, Dadang M. Naser. Namanya, Sabilulungan, berasal dari bahasa Sunda: sabilu (jalan) dan ulungan (bersama), yang secara filosofis berarti “jalan bersama menuju harmoni”. Gedung ini merupakan perwujudan nyata pepatah Sunda “silih asah, silih asih, silih asuh” saling mengasah, menyayangi, dan mengasuh yang menjadi pedoman interaksi sosial masyarakat Soreang. Berbeda dengan pusat kebudayaan lain seperti Saung Angklung Udjo atau Taman Budaya Yogyakarta, Sabilulungan memiliki identitas arsitektur hibrida yang unik: fasad kaca modern dipadukan dengan ornamen tradisional Sunda seperti atap julang ngapak, motif kawung, dan pucuk rebung. Lebih dari sekadar tempat penyelenggaraan acara, gedung ini merupakan laboratorium hidup kearifan lokal yang mengajarkan nilai-nilai gotong royong, pelestarian lingkungan, dan adaptasi budaya di era digital. Esai ini menguraikan sejarah, desain filosofis, fungsi sosial, serta tantangan dan relevansi Sabilulungan sebagai warisan budaya tak benda yang hidup di Kecamatan Soreang.
Sejarah Gedung Budaya Sabilulungan bermula dari visi Pemerintah Kabupaten Bandung pada akhir dekade 2000-an untuk menciptakan ruang publik yang inklusif dan berbudaya. Sebelumnya, meskipun Soreang menjadi ibu kota, namun kurang memiliki ikon kebudayaan yang representatif. Banyak kegiatan adat terpaksa diselenggarakan di lapangan terbuka atau aula sekolah. Pada tahun 2008, bupati saat itu menggagas pembangunan gedung megah di Jalan Alun-Alun Utara, tepat di depan Pendopo Kabupaten Bandung. Proses pembangunan memakan waktu dua tahun dan melibatkan arsitek lokal yang mengintegrasikan prinsip Sunda dalam desain modern. Biaya pembangunan mencapai Rp25 miliar, bersumber dari APBD dan CSR perusahaan lokal. Saat diresmikan pada 20 April 2010 bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kabupaten Bandung, Sabilulungan langsung menjadi landmark baru Soreang, bahkan disebut sebagai “gedung budaya termegah di Pasundan” oleh media lokal. Keunikan yang benar-benar khas: tidak ada elemen komersial di dalamnya. Semua kegiatan dari pertunjukan seni hingga lokakarya gratis atau bersubsidi, mencerminkan nilai someah henteu nyerah (ramah tanpa pamrih) yang menjadi ciri khas masyarakat Soreang.
Desain arsitektur Sabilulungan merupakan perpaduan sempurna antara tradisi dan modernitas, yang menjadikannya kearifan lokal dalam bentuk bangunan. Atap gedung berbentuk julang ngapak mirip burung yang mengepakkan sayap melambangkan kesiapan menghadapi perubahan dan kebebasan berekspresi. Motif kawung terukir pada dinding kaca bagian dalam, melambangkan kesucian, kesetiaan, dan keseimbangan hidup, sesuai filosofi Sunda bahwa manusia harus selaras dengan alam dan sesama. Di sisi lain, penggunaan kaca tempered dan sistem pendingin ramah lingkungan menunjukkan adaptasi teknologi modern tanpa mengorbankan estetika tradisional. Taman terbuka di belakang gedung dilengkapi leuweung mini (hutan kecil) dengan pohon-pohon endemik seperti kiara payung dan puspa, mengajarkan nilai “cageur, bageur, pinter” (sehat jasmani, rohani, dan intelektual). Ruang utama berkapasitas 1.000 orang dilengkapi panggung teater terbuka, galeri interaktif, dan ruang lokakarya semuanya dirancang untuk mendekatkan budaya kepada masyarakat awam, bukan hanya kalangan elit. Bahkan, lantai gedung menggunakan batu alam dari Ciwidey, menegaskan komitmen pada material lokal.
Fungsi Sabilulungan sebagai wadah kearifan lokal terlihat jelas dalam beragam kegiatan rutin yang hanya ada di Soreang. Setiap tahun, gedung ini menjadi titik akhir Pawai Jampana yakni tradisi khas Kabupaten Bandung di mana hasil bumi dari 31 kecamatan diarak dan dibagikan kepada masyarakat. Di Sabilulungan, prosesi ini mencapai klimaks: jampana dibongkar, dan warga berebut hasil panen secara ramah, melambangkan “rezeki dari bumi untuk semua”. Selain itu, Festival Sabilulungan diselenggarakan setiap April dengan agenda tetap: pentas jaipong, angklung, wayang golek, dan pameran batik Sunda. Lokakarya gratis seperti ngarajah (membatik), nabeuh (menabuh gamelan), dan nyanyi sunda diadakan setiap akhir pekan, menarik ratusan anak muda dari Soreang dan sekitarnya. Gedung ini juga menjadi pusat edukasi budaya: mahasiswa dari Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung sering mengadakan penelitian di galeri, sementara sekolah dasar menggelar kunjungan belajar tentang sejarah Sunda. Yang paling khas: tidak ada tiket masuk semua terbuka untuk umum, mencerminkan nilai silih asih yang inklusif.
Nilai filosofis Sabilulungan sangat dalam dan relevan dengan kehidupan masyarakat Soreang saat ini. Pertama, gotong royong: setiap acara melibatkan relawan dari 14 desa di Kecamatan Soreang, mulai dari membersihkan gedung hingga menyiapkan panggung. Kedua, harmoni dengan alam: taman leuweung mini menjadi pengingat untuk menjaga Sungai Citarum yang mengalir tak jauh dari lokasi, terutama di tengah ancaman banjir dan polusi. Ketiga, adaptasi budaya: dengan mengintegrasikan teknologi seperti layar LED untuk pertunjukan virtual, Sabilulungan mengajarkan bahwa budaya Sunda dapat “berkembang tanpa terputus akar”. Keempat, pendidikan karakter: anak-anak diajak belajar someah (ramah) melalui interaksi dengan seniman, dan pinter melalui lokakarya kreatif. Semua ini menjadikan gedung ini bukan sekadar bangunan, melainkan sistem pendidikan budaya tanpa dinding.
Pada tahun 2025, Sabilulungan tetap relevan sebagai modal pembangunan berkelanjutan. Festival budayanya mendukung ekonomi lokal: pedagang UMKM dari Soreang menjual makanan khas seperti colenak, peuyeum, dan kerajinan bambu di area gedung. Wisatawan dari Kota Bandung sering singgah, meningkatkan pendapatan daerah. Pemerintah Kabupaten Bandung bahkan mengajukan Sabilulungan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional pada 2024, dengan alasan sebagai “model pelestarian budaya urban”. Program digital seperti tur virtual Sabilulungan dan live streaming pertunjukan di YouTube menarik generasi Z, membuktikan bahwa kearifan lokal dapat menjadi viral tanpa kehilangan esensi. Namun, tantangan tetap ada. Urbanisasi membuat lalu lintas di Jalan Raya Soreang semakin padat, mengurangi akses warga lokal. Pandemi 2020–2022 sempat menutup gedung selama 18 bulan, dan anggaran pemeliharaan sering terbatas. Generasi muda lebih tertarik pada budaya pop global daripada jaipong, meskipun lokakarya digital mulai membalik tren ini.
Untuk mengatasi tantangan, beberapa langkah strategis diperlukan. Pertama, integrasi dengan kurikulum sekolah: setiap SD/SMP di Soreang wajib mengadakan kunjungan tahunan ke Sabilulungan. Kedua, kolaborasi dengan influencer: mengundang content creator lokal untuk membuat konten viral tentang lokakarya angklung atau jaipong. Ketiga, pengembangan ekowisata: menambah jalur sepeda dari Alun-Alun Soreang ke gedung, sekaligus mempromosikan transportasi ramah lingkungan. Keempat, dana CSR berkelanjutan: menggandeng perusahaan di Kawasan Industri Katapang untuk sponsor rutin. Dengan langkah ini, Sabilulungan tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sebagai model kearifan lokal urban di Indonesia.
Sebagai penutup, Gedung Budaya Sabilulungan adalah jiwa Soreang yang hidup: megah secara fisik, dalam secara makna, dan inklusif secara fungsi. Dengan atap julang ngapak yang menantang langit dan motif kawung yang abadi, ia mengajarkan bahwa budaya Sunda bukan warisan mati, melainkan sabilu ulungan jalan bersama menuju masa depan yang harmonis. Di tengah gemerlap globalisasi, Sabilulungan berdiri tegak sebagai pengingat: kearifan lokal adalah kekuatan, bukan beban. Pelestarian gedung ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan generasi muda agar Soreang tetap menjadi pusat kebudayaan yang someah, bageur, jeung pinter, selamanya.