Ragam
Bukan Pertentangan, Melainkan Keseimbangan:  Akulturasi Tradisi dan Agama dalam Sedekah Laut di Cilacap
Bukan Pertentangan, Melainkan Keseimbangan: Akulturasi Tradisi dan Agama dalam Sedekah Laut di Cilacap

Tradisi sedekah laut di Cilacap merupakan ritual syukur masyarakat pesisir kepada Tuhan atas rezeki laut. Meski berasal dari kepercayaan lama yang bersifat mistis, tradisi ini kini mengalami akulturasi dengan ajaran Islam sehingga maknanya berubah menjadi doa bersama, tahlil, dan sedekah. Pelaksanaannya juga berkembang: jika dahulu berlangsung sederhana dan sakral, kini menjadi lebih meriah sebagai wisata budaya. Meski muncul kekhawatiran nilai spiritualnya memudar, tradisi ini tetap menjadi simbol harmoni antara adat, agama, dan hubungan manusia dengan laut, sekaligus memperkuat kebersamaan, ekonomi lokal, dan pelestarian kearifan lokal.

Laut selalu punya bahasa yang tak seluruhnya bisa diterjemahkan oleh manusia. Gemuruh ombaknya adalah doa, anginnya membawa kabar syukur, dan birunya mejadi cermin kehidupan bagi mereka yang menggantukan hidup di tepiannya. Di Pantai Cilacap, setiap datang bulan  Sura menurut penanggakan Jawa, Masyarakat nelayan menyiapkan diri bukan hanya untuk melaut, tetapi juga untuk melurang rasa melalui trradisi sedekah laut yang telah hidup berabad lamanya. Di sanalah laut dihormati, bukan disembah. Di sanalah tradisi dan agama bersua dalam tenunan harmoni, bukan dalam pertentangan.

  Tradisi ini menarik untuk dikaji karena di balik kemeriahan upacranya tersimpan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya yang saling bertaut. Tulisan ini berupaya menelusuri bagaimna masyarakat Cilacap menafsirkan sedekah laut bukan sebagai pertentangan antara adat dan agama, melainkan keseimbangan anatara keduanya.

            Tradisi sedekah laut bagi masyarakat Cilacap bukan sekedar pesta rakyat. Ia adalah ritual kebersamaan dan wujud syukur kepada Tuhan ang Maha Esa dari laut. Dalam wawancara dengan Bapak Hadri, nelayan berusia lima puluh tahun, tergambar betapa tradisi ini masih dijalani dngan hati yang penuh keyakinan. “sedekah laut itu cara kami bersyukur”, ujarnya lirih, “bukan meyembah laut, tapi menghormatinya sebagai ciptaan Tuhan”. Kalimat itu sederhana, tetapi memuat kebijaksaan yang dalam, bahwa manusia dan laut terikat dakam hubungan timbal balik, saling memberi dan saling menjaga.

            Secara historis, sedekah laut memang bermula dari kepercayaan lama yang megandung unsur mistis, seperti persembahan kepada kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Namun seiring masuknya nilai-nilai islam, tradisi ini mengalami akulturasi yang indah. Persembahan kepada roh laut kini berganti denagn doa bersama dan sedekah kepada Allah SWT. Kepala kerbau, tumpeng, bunga, dan hasil bumi yang dilarung bukan lagi persembahan untuk makhluk, tetapi lambang pengorbanan dan doa agr manusia tak lupa bersyukur serta menjaga kesimbangan alam.   Dari sini tampak bahwa nilai spiritual sedekah laut bukan lagi terletak pada usurmistisnya, melainkan pada kesadaran religius masyarakat pesisir. Tradisi ini mejadi simbol perubahan cara pandang, dari bentuk persembahan menuju bentuk ibadah dan rasa syukur kepada sang pencipta.

 Pandangan ini sejalan denag hasil penelitian Rahill Syira Roudhlotul Janan, dkk. (2024) dalam jurnal Budi Pekerti Agama Islam (JBPAI) yang megkaji akulturasi tradisi sedekah laut di Kabupaten Cilacap denga hukum Islam. Dalam kajiannya, Janah dan rekan-rekannya menegaskan bahwa hubungan anatara adat dan agama di Cilacap tidak bersifat saling meniadakan, melainkan berdiri sejajar dan saling menguatkan. Hukum adat berperan menjaga bentuk budaya lokal yang diwariskan turun-temurun, sementara hukum islam memberi makna teologis dan arah spiritual terhadap pelaksanaannya. Tradisi tetap dilestarikan, etapi maknnanya disucikan. Akulturasi inilah yang melahirkan harmoni, tradisi tetap hidup dalam wujud adat, sementara agama menjadi jiwa yang menuntunnya kepada Tuhan. Pandangan akademis tersebut meguatkan keyataan di lapangan bahwa tradisi sedekah laut bukan sekadar warisan, tetapi cermin kearifan lokal yang mampu beradaptasi deagn zaman tanpa kehilangan akar kepercayaannya.

            Dalam kerangka tersebut, sedekah laut di Cilacap bukan lagi ritual magis, melainkan manifestasi rasa syukur dan ibadah sosial. Islam tidak datang untuk menolak tradisi, tetapi untuk meluruskannya agar sejalan dengan tauhid. Para ulama dan tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam proses transformasi ini, mereka megganti sesaji untuk roh laut denga doa bersama, tahlilan, serta sedekah keoasa sesama seperti dijelaskan dalam kajian Janah, dkk. (2024). Nilai-nilai Islam dan adat bersinergi dalam satu ruang sosial yang sama, menciptakan bentuk sinkretisme positif yang mempertemukan budaya dan iman dalam keseimbangan yang utuh. Makna sedekah laut pun meluas melampaui aspek spiritual. Ia mejadi panggung sosial tempat gotong royomg tumbuh kembali. Dari nelayan, ibu-ibu, anak muda, hingga tokoh adat dan pemerintah daerah, semua bergandengan tangan mempersaipkan prosesi larung. Di balik keramaian itu, tersimpan nilai lihur persaudraan, kepedualian, dan rasa syukur kolektif. Dalam konteks sosial ini, teori akulturasi budaya sepersi yang diuraikan Janah dkk. Menemukan relevansinya bahwa keraifan lokal dapat bertahan karena masyarakat mampu menyesuaikan dengan nilai-nilai baru tana kehilangan akar tradisinya.

            Namun, di era modernisasi, makna spiritual tradisi ini kian diuji. Sedekah laut kini juga menjadi agenda wisata budaya. Ribua oegunjung datang, kamera mengabadikan setiap detik, dan media meyiarkan keindahan oesta laut. Di satu sisi, ini menandakan kebanggan dan pelstarian budaya. Di sisi lain, muncuk kekhawatiran bahwa makna sakralnya perlahan memudar di balik sorot lampu dan hiburan rakyat. Bapak Hadri mengungkapkan dngan nda harap, “Bagus memang jadi ramai, tapi semga tidak hiang maknanya.” Pernyataan ini sejalan dengan catatn Jannah, dkk. Bahwa perkembangan zaman berpoensi meggeser makna tradisi dari ibdah enuju hiburan. Karean itu, diperlukan peran masyarakat dan tokoh agama untuk menjaga keseimbangnanya agar nilai spirityak tetap hidup dalam bentuk buday yang berubah. Pernyataan itu megingatkan kita bahwa pelestarian tradisi tidak cukup hanya melalui acara seremonial, tetapi juga melalui kesadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Modernisasi seharusnya menjadi jembatan, bukan peghalang, bagi hidupnya makna spiritual dan ssial sebuah budaya.

            Selain dimensi religius dan sosial, sedekah laut juga menyiratkan kesadaran ekologis dan ekonomis. Tradisi ini mengingatkan manusia untuk menjada laut sebagai sumber kehidupan, sebagamana dijekaskan dalam nelitian tersebut, laut tidak hanya dilihat sebagai sumber ekonomi, tetapi juga ruang spiritual yang harus dijaga kelestariannya. Pemerintah pun mendukung pelestarian in melaui festival budaya, yang di satu sisi menggerakan ekonomi pesisir, namun di sisi lain menuntut tanggung jawab moral agar tradisi tetapi berpijak pada nilai kearifan lokal dan agama. Dengan demikian, sedekah laut bukan hanya tentang ritual, melainkan juga tentang etika ekologis bagaimana manusia menjaga keseimbangan antara mengambil rezeki dari laut dan memlihara keberlanjutannya.  Maka benar adanya, tradisi dan agama tidak berdiri sebagai du akutub yang berlawanan. Keduanya ibarat dua arus yang bertemu di tengah samudra, tidak saling menenggelamkan, melainkan meyau mejadi ombak yang indah. Di Cialcap, sedekah laut bukan sekedar warisan nenek moyang, tetapi cermianan dar kebijaksanaan masyarakat yag tahu caranya menjaga keseimbangan anatara langit dan bumi, antara doa dan adat, antara manusia dan laut.

Pelaksanaan tradisi sedekah laut di Cilacap mengalami perubahan dari masa ke masa, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan pandangan masyarakat. Pada zaman dulu, sedekah laut dilakukan secara sederhana dan sakral. Masyarakat nelayan menyiapkan sesaji dari hasil bumi dan kepala kerbau yang dilarung ke laut sebagai bentuk persembahan dan penghormatan kepada penguasa laut, yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Prosesi diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa di pendopo, lalu dilanjutkan dengan arak-arakan perahu menuju tengah laut untuk melarung sesaji. Suasana tradisi kala itu berlangsung khidmat dan penuh makna spiritual. Tidak ada hiburan atau keramaian berlebihan—fokus utama adalah pada doa dan rasa syukur atas hasil laut yang melimpah.

Sementara itu, pelaksanaan sedekah laut masa kini telah mengalami transformasi besar. Tradisi yang dulunya hanya dilaksanakan secara adat kini juga menjadi agenda wisata budaya tahunan. Pemerintah daerah turut berperan sebagai penyelenggara bersama masyarakat. Prosesi pelarungan sesaji tetap dilakukan, tetapi disertai dengan berbagai acara tambahan seperti kirab budaya, pertunjukan seni tradisional, lomba perahu hias, bazar UMKM, dan hiburan rakyat. Perubahan ini menjadikan sedekah laut lebih meriah dan dikenal luas oleh masyarakat luar daerah. Namun, beberapa tokoh adat dan nelayan menilai bahwa makna spiritualnya cenderung berkurang karena lebih menonjolkan sisi hiburan daripada nilai religius dan sakral.

Meski begitu, perubahan tersebut juga membawa dampak positif, terutama dalam aspek ekonomi dan pelestarian budaya. Banyak generasi muda yang kini ikut terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan acara, baik sebagai panitia, penampil, maupun peserta kirab. Dengan begitu, mereka mengenal dan memahami tradisi leluhur secara langsung. Di sisi lain, kegiatan ini juga menghidupkan ekonomi pesisir karena menarik wisatawan dan memperluas jaringan usaha lokal. Dengan demikian, pelaksanaan sedekah laut di Cilacap kini bukan hanya ritual adat, tetapi juga sarana integrasi antara tradisi, agama, dan pariwisata. Masyarakat berusaha menjaga keseimbangan antara pelestarian nilai-nilai spiritual masa lalu dan tuntutan zaman modern agar tradisi ini tetap hidup, bermakna, dan menjadi kebanggaan daerah.

Pada akhirnya, tradisi sedekah laut di Cilacap meyampaikan pesan sederhana namun mendalam “meghormati laut sama artinya dengan mensyukuri anugerah Tuhan. Ia bukan pertentanga antara tradisi dan agama, melainkan harmoni antara keudanya.” Dari setiap tumpeng yag dilarung dan setiap doa yang dipanjatkan, lahirlah kesadaran bahwa keseimbanga hidup hanya dapat tercapai ketika manusia hidup selaras dengan alam, budaya, dan Sang Pencipta.

 

Referensi

Hadri. (2025). Wawancara Online via WhatsApp, 19 Oktober 2025.

Janah, R. S. R., Athariq, S. P., Wahdini, S. A. N., & Fasya, Y. A. (2024). Akulturasi Tradisi Sedekah Laut di Kabupaten Cilacap dengan Hukum Islam. Jurnal Budi Pekerti Agama Islam, 2(4), 70–78. https://doi.org/10.61132/jbpai.v2i4.431
Suarakpk.com. (2017). 11 Jolen Semarakkan Sedekah Laut di Cilacap. https://www.suarakpk.com/2017/10/11-jolen-semarakkan-sedekah-laut.html

Rahil Syira Roudhlotul Janah, Salsabila Phytagora Athariq, Siti Aliza Nuraini Wahdini, & Yulianisa Amelia Fasya. (2024). Akulturasi Tradisi Sedekah Laut di Kabupaten Cilacap Dengan Hukum Islam. Jurnal Budi Pekerti Agama Islam, 2(4), 70–78. https://doi.org/10.61132/jbpai.v2i4.431

 

 





Putri Nur Islami

Putri Nur Islami adalah anggota komunitas Literasiliwangi yang bergabung sejak Dec 2023



0 Komentar





Ragam Lainnya