Catatan dari Kuliah Umum Prof. Stella Christie: “Pengembalan Pola Pikir Kritis dan Kreatif melalui Teknologi AI”
Oleh Halwah Shahifah Al Madani
Kelas A1 PBSI 2022 IKIP Siliwangi
Mata Kuliah Strategi Penyusunan dan Publikasi Karya Ilmiah
Dosen Pengampu Ibu Diena San Fauziya, M.Pd.
Ketika Artificial Intelligence (AI) sudah bisa menulis esai yang lebih rapi daripada tugas kuliah kita, apakah itu berarti manusia sudah kalah? Jawaban Prof. Stella Christie, Ph.D., Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, tegas: “Belum. Malah justru sekarang kita ditantang untuk semakin cerdas.”
Dalam kuliah umum bertajuk “Pengembangan Pola Pikir Kritis dan Kreatif melalui Teknologi AI dalam Proses Pembelajaran” yang digelar belum lama ini, Prof. Stella membuka mata ratusan mahasiswa (termasuk saya) bahwa AI bukan monster yang akan mencuri pekerjaan guru dan dosen, melainkan cermin yang memperlihatkan seberapa serius kita menjaga kemampuan berpikir kita sendiri.
Prof. Stella memberikan contoh nyata yang membuat bulu kuduk berdiri: seorang anak kelas 3 SD di Tiongkok setiap hari menulis karangan, lalu mendapat feedback super detail dari AI mulai dari pilihan kata, gaya bahasa sehari-hari, hingga struktur paragraf. Dalam waktu singkat, nilai tulisannya melonjak drastis. Sesuatu yang hampir mustahil diberikan guru manusia setiap hari karena keterbatasan waktu dan energi.
“AI sangat kuat menangani skala dan volume,” ujarnya, “tapi dia lemah dalam generalisasi ke konteks baru.” Artinya, AI bisa mengoreksi jutaan karangan dengan sempurna, tapi tidak bisa mengajarkan anak itu mengapa dia menulis, untuk siapa dia menulis, dan apa makna tulisannya bagi orang lain. Itu wilayah manusia.
Beliau juga mengingatkan agar kita tidak mudah terpesona metode pengajaran yang “instagramable”. Contoh klasik: belajar pecahan lewat gambar pizza yang warna-warni. Ternyata, setelah diuji secara empiris (generalization test), metode itu kalah efektif dibanding cara jadul yang membosankan sekalipun, karena anak jadi terlalu fokus pada gambar pizza ketimbang memahami konsep pecahan itu sendiri.
Pesan moralnya: setiap metode harus dibuktikan dengan data, bukan karena terlihat keren di slide presentasi.
Penelitian yang dikutip Prof. Stella semakin membuat hati bergetar: anak yang belajar bahasa melalui percakapan langsung (meski sering salah, meski berantakan) jauh lebih mahir daripada anak yang hanya menonton video YouTube berkualitas tinggi. Otak manusia ternyata butuh debat, butuh “eh salah itu!”, butuh evaluasi bersama. Interaksi sosial adalah “pupuk” paling subur bagi pikiran kritis dan kreatif.
Beliau juga mengingatkan bahwa kemampuan matematika anak ternyata lebih diprediksi oleh aktivitas sehari-hari—menghitung uang jajan, mengukur takaran memasak, atau bermain petak umpet—daripada pelajaran formal di kelas. Pendidikan sejati, kata beliau, adalah proses, bukan sekadar transfer konten.
Titik kulminasi kuliah ini adalah peringatan keras yang sampai sekarang masih terngiang:
“Kalau mahasiswa hanya copy-paste jawaban ChatGPT tanpa proses berpikir, tanpa diskusi, tanpa revisi berkali-kali, maka lambat laun kemampuan mengevaluasi, menalar, dan berpikir kritisnya akan mati. Bukan AI yang membunuh kita, tapi kita sendiri yang menyerahkan otak kita kepada AI.”
AI boleh dipakai. Malah harus! Tapi harus tetap ada proses berpikir, pergulatan, dan interaksi sosial yang hidup.
Kuliah dua jam itu terasa seperti tamparan lembut yang menyakitkan sekaligus membangunkan. Saya pulang dengan satu tekad: mulai sekarang, AI bukan lagi “tukang jawab soal”, tapi partner diskusi. Saya akan tetap menulis draf jelek saya sendiri, baru kemudian meminta AI mengoreksi—bukan menuliskan dari nol. Saya ingin tetap merasakan perihnya revisi, gembira saat menemukan kalimat yang pas, dan bangga saat akhirnya menghasilkan tulisan yang benar-benar “saya”.
Karena itulah nilai sejati pendidikan tinggi: bukan seberapa cepat kita mendapat jawaban, tapi seberapa jauh kita berani bergulat dengan pertanyaan.
Terima kasih, Prof. Stella Christie, atas pengingat bahwa di era AI ini, justru manusia yang paling berharga adalah manusia yang tetap mau berpikir.
Salam, Halwah Shahifah Al Madani Mahasiswa PBSI IKIP Siliwangi 2022