Sore yang Lalu
Oleh Sofa Marwati | Selasa, 25 November 2025 17:34 WIB | 39 Views
Cerita tentang seorang Ibu dan anak perempuan yang kehilangan sesosok lelaki yang mereka cintai, suaminya dan bapak dari anaknya.
Sore yang lalu, aku masih melingkarkan lenganku di pinggangmu. Menghirup udara panas yang mulai redup terbawa oleh gema azan di sepanjang perjalanan kita.
Aku tidak mengerti, mengapa secepat ini aku kehilangan tubuhmu. Disaat banyaknya janji yang belum sepenuhnya menemukan bukti. Dari banyaknya kata cinta yang tidak sepenuhnya terlihat keseriusannya.
Aku tidak mengerti, sebenarnya takdir lebih menyayangi siapa. Tuhan yang lebih menyanyangimu atau Tuhan menyelamatkanku karena menyayangiku.
Sebenarnya aku ingin teriak. Aku ingin mengatakan, aku membutuhkanmu menemaniku, juga putri kecil kita.
Seandainya, selepas kita memeriksa pertumbuhan buah cinta kita, kita tidak lebih dulu duduk di kursi bibir jalan kota. Seandainya, kamu tidak menunjukkan cintamu saat itu dan memilih egois agar kita kembali ke rumah. Mungkin, sore ini aku, kamu dan putri kita sedang duduk di taman kota. Di hamparan rumput hijau, mendengar celotehan dari seorang anak yang sudah lama kamu nantikan. Mungkin, kecelakaan itu tidak akan merenggut nyawamu.
"Bu, suara Bapak selembut apa?" Tanya Hana, putrimu saat dia menaburkan segenggam mawar di nisan bernamakan "Farhan Adikusuma"
"Suara Bapak tentu tidak selembut suara Ibu. Suara Bapak seperti marshmellow, manis dan sangat lembut." Jawabku, yang mungkin cukup berat cara penyampaiannya untuk menjawab pertanyaan anak berusia tiga tahun. Tapi aku yakin, di atas sana kamu tahu, anakmu tumbuh sepertimu, seperti Bapaknya. Yang mudah sekali memahami kata-kata yang aku ucapkan. Yang selalu berkelit, padahal bisa lebih sederhana lagi cara menyampaikannya.
Hana, lengkapnya Farhana Adikusuma. Ku sematkan namamu padanya. Aku menyematkan nama itu pada buah hati kita, tentu agar aku tidak lupa suamiku dan agar anak kita lebih mengenal bapaknya.
"Hana ingin bertemu Bapak, Bu. Hana rindu, Ibu juga, kan?" Tanyanya dengan nada sendu. Kuraih tubuh mungilnya, ku dekap, "Sangat, Ibu sangat merindukan Bapak" Jawabku dengan lirih.
Udara semakin dingin, di samping gundukan tanah aku dan putrimu lagi-lagi menangisi ketiadaanmu. Bagi kami, kepergianmu adalah luka yang tidak pernah ditemukan obatnya.
Kami berdua baru beranjak dari rumah barumu, setelah matahari sudah terlihat sangat mesra dengan warna gelap. Aku menghapus sisa tangis putrimu, juga di ujung mataku.
"Ayo kita pulang!" Aku bangkit lebih dulu, kemudian meraih lengan mungilnya. Kami sejenak menatap menatap namamu.
"Ayo, kita pulang. Bapak mau istirahat." Ucapku sambil menuntun Hana, meninggalkan kamu yang sudah lama tidur tanpa kami berdua.
"Bu, Hana mau kembang gula. Kita makan berdua ya, Bu. Ibu jangan sedih-sedih lagi, Bapak pasti sangat sayang ke kita." Anakmu, jauh lebih tangguh dariku, Hana kerap selalu menguatkan ku, dia selalu membuatku yakin bahwa kamu masih mencintaiku, mencintai Hana, mencintai kamu berdua. Meski sudah tidak ada ragamu, kamu hadir melalui kekuatan yang kami miliki untuk menjalani hari demi hari.
Sofa Marwati adalah anggota komunitas Literasiliwangi yang bergabung sejak Oct 2025
0 Komentar