Pagi di Bandung, tepatnya di Pasir Koja selalu dimulai dengan aroma kedelai rebus yang menyeruak dari dapur-dapur kecil di sepanjang jalan. Kabut tipis masih menggantung, tapi suara gemericik air dan dentingan wajan sudah jadi lagu khas tiap subuh. Di salah satu ruang sederhana, Nanang Ismail, lelaki berusia tiga puluhan dengan senyum hangat dan tangan yang cekatan, tengah menakar adonan tahu buatannya.
“Nanang, jangan lupa jemuran kemarin diangkat dulu, nanti keburu lembab,” teriak ibunya dari dapur belakang.
“Iya, Bu. Ini lagi nunggu tahu naik ke permukaan dulu,” jawab Nanang sambil tersenyum.
Tahu bagi Nanang bukan sekadar makanan tapi warisan. Ayahnya dulu adalah salah satu perintis tahu Cibuntu yang legendaris, dikenal karena teksturnya yang lembut dan rasa gurih alami tanpa bahan tambahan. Sejak kecil, Nanang sudah akrab dengan uap panas kedelai dan aroma khas kapur tahu.
Namun setelah ayahnya meninggal, usaha itu sempat nyaris berhenti. Banyak pabrik tahu modern bermunculan dengan alat serba otomatis. Harga tahu Cibuntu yang tradisional jadi kalah saing. Tapi Nanang tak mau menyerah.
“Ayah bilang, rasa itu nggak bisa diganti mesin. Rasa datang dari niat yang tulus,” gumamnya pelan setiap kali menatap uap panas yang naik dari kuali besar.
Hari itu, Nanang punya tamu istimewa. Seorang mahasiswa dari Cimahi, Ilma, datang meneliti tentang kearifan lokal dalam industri tahu Cibuntu.
“Jadi, Kang Nanang masih pakai cara manual, ya?” tanya Ilma sambil mencatat.
“Iya, Neng. Soalnya tahu itu bukan cuma soal kedelai, tapi soal sabar. Kalau buru-buru, rasanya juga ikut ‘buru-buru’,” jawab Nanang sambil tertawa kecil.
Ilma terdiam sejenak, menatap tangan Nanang yang kasar tapi lincah. Ada ketulusan dalam setiap gerakan dari menumbuk kedelai sampai mencetak tahu ke dalam cetakan kayu yang sudah tua.
Sore harinya, Ilma membantu membungkus tahu-tahu yang sudah matang. Bau gurihnya menggoda siapa pun yang lewat. Seorang pembeli langganan, Mang Dudung, datang membawa tas anyaman.
“Wah, Tahu Kang Nanang mah lain! raos pisan euy,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental.
Nanang hanya tersenyum, “Hatur nuhun, Mang. Asal jangan lupa doa, tahu enak itu dari rezeki yang halal.”
Ilma menatap pemandangan itu dengan haru. Ia sadar, tahu Cibuntu bukan sekadar produk kuliner tapi cerita tentang ketekunan, kejujuran, dan cinta pada tradisi.
Beberapa minggu kemudian, tulisan Ilma tentang “Tahu Cibuntu: Cita Rasa dari Kearifan Lokal Bandung” terbit di majalah kampus. Nama Nanang Ismail mulai dikenal. Banyak wisatawan datang ke Cibuntu, ingin mencicipi tahu yang katanya “dibuat dari hati”.
Namun, bagi Nanang, bukan popularitas yang ia kejar. Setiap pagi, ia tetap menyalakan tungku kayu, menanak kedelai, dan tersenyum pada ibunya yang masih setia membantu di dapur, karena baginya, selama tahu itu masih dibuat dengan cinta, warisan ayahnya akan selalu hidup.
Minggu-minggu berikutnya menjadi masa yang sibuk bagi Nanang. Jalan kecil di Pasir Koja yang biasanya lengang mendadak dipenuhi orang-orang yang ingin melihat langsung proses pembuatan tahu Cibuntu yang melegenda. Ada rombongan keluarga, mahasiswa, bahkan jurnalis lokal yang ingin mengabadikan momen ketika adonan kedelai berubah menjadi tahu putih yang lembut.
Nanang sempat kewalahan, tetapi ibunya hanya tertawa kecil.
“Dulu ayahmu juga sering didatengin orang. Rezeki itu kalau datang jangan ditolak, tapi dijaga niatnya,” ucap ibunya sambil menambahkan kayu ke tungku.
Suatu pagi, ketika matahari baru merangkak naik dan uap kedelai sedang paling harum, seorang pria paruh baya datang ke rumah produksi mereka. Ia mengenakan rompi bertuliskan “AyoBiz Jawa Barat”.
“Permisi, saya Rizma. Kami dengar usaha Kang Nanang masuk tulisan mahasiswa, dan banyak pembaca yang tertarik. Kami ingin meliput lebih dalam soal sejarah tahu Cibuntu,” katanya dengan sopan.
Nanang sempat terdiam. Rasanya tak pernah terbayang ia akan diwawancarai media besar. Namun ia tetap mengangguk. “Silakan, Pak. Saya cuma meneruskan apa yang ayah wariskan.”
Rizma tersenyum sambil menatap cetakan kayu tua yang sudah mulai pudar warnanya.
“Justru itu yang penting, Kang. Banyak yang bilang Cibuntu punya sejarah panjang. Ada yang masih ingat masa-masa awal para perajin tahu berkumpul di sini sebelum jadi sentra besar. Cerita begitu mulai jarang, Kang Nanang bisa jadi saksi hidupnya.”
Ucapan itu membuat dada Nanang terasa hangat. Ia teringat ayahnya yang dulu sering bercerita tentang era 1970-an, saat Cibuntu mulai dikenal sebagai kampung tahu. Dulu hanya ada beberapa pengrajin, tapi semuanya bekerja dengan prinsip yang sama, menjaga cita rasa tanpa mengurangi kualitas.
Saat Rizma mulai mengambil gambar, Ilma tiba-tiba muncul dari balik pagar.
“Izin masuk, Kang! Saya bawa majalah kampusnya,” katanya sambil mengacungkan edisi terbaru.
Nanang menerima majalah itu hati-hati. Di halaman depan rubrik budaya, terpampang judul,
“Tahu Cibuntu, Keteguhan Tradisi di Tengah Modernisasi.”
Nanang membaca perlahan, dari proses perebusan hingga filosofi para perajin tua yang mempertahankan cara tradisional. Ilma menuliskan semuanya dengan hangat dan jujur.
“Terima kasih, Neng. Ayah saya pasti bangga kalau lihat ini,” ucap Nanang.
Ilma tersenyum. “Justru saya yang belajar dari Kang Nanang. Banyak orang kota lupa kalau kuliner tradisional itu bukan cuma soal rasa, tapi soal karakter orang yang membuatnya.”
Hari itu proses liputan berjalan lancar. Rizma merekam setiap detail tungku kayu yang masih digunakan, air bersih dari sumur yang mengalir ke bak besar, suara mesin penggiling manual, dan percakapan ringan antara para pembeli yang datang silih berganti.
Menjelang sore, ketika cahaya matahari menembus sela atap seng, Ilma duduk menatap tumpukan tahu segar yang siap dijual.
“Kang,” katanya pelan, “tahu ini akan terus terkenal. Tapi saya harap Kang Nanang tetap seperti ini. Tetap jaga yang asli.”
Nanang tertawa kecil. “Neng, kalau saya berubah, nanti ayah bisa marah di mimpi.”
Mereka tertawa bersama, suara keduanya menyatu dengan bunyi wajan, gemericik air, dan aroma kedelai yang tak pernah lelah mengepul.
Beberapa bulan berlalu. Liputan dari AyoBiz Jawa Barat beredar luas. Wisata kuliner mulai memasukkan Tahu Cibuntu sebagai destinasi unggulan. Para pengrajin sekitar juga ikut merasakan dampaknya penjualan naik, pengunjung bertambah, dan cerita lama tentang sejarah Cibuntu kembali diperbincangkan.
Namun satu hal tetap sama di rumah Nanang setiap subuh, sebelum siapa pun datang, ia duduk sejenak di samping tungku yang baru menyala.
“Ayah,” bisiknya, “lihat, Cibuntu kembali hidup.”
Uap panas kedelai naik perlahan. Dan dalam aroma itu, Nanang merasa warisan ayahnya tidak hanya bertahantetapi sedang tumbuh kembali, diteruskan oleh tangan-tangan muda yang mencintai tradisi.
Di luar, suara ibu memanggil,
“Nanang, tahu pertama sudah matang!”
Ia bangkit, tersenyum, dan menjawab,
“Iya, Bu. Kita mulai lagi.”
Dan seperti itu, setiap hari, tahu Cibuntu terus lahir, bukan hanya dari kedelai, tetapi dari sejarah panjang, kearifan lokal, dan hati yang menjaga warisan agar tetap hidup.
sumber berita: https://www.ayobandung.id/ayo-biz/0147/06052025/sejarah-panjang-sentra-tahu-cibuntu-ciri-khasnya-bukan-hanya-soal-cita-rasa/amp?ch=1
sumber foto: Produksi Tahu Cibuntu di pabrik tahu Kampung Cibuntu, Kelurahan Babakan Ciparay, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Alfaritsi)