Di kaki Gunung Ciremai, tersembunyi sebuah danau yang tenang bernama Situ Sangiang, tepatnya di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Berjarak sekitar dua puluh tujuh kilometer dari pusat kota Majalengka, danau ini dikelola oleh warga setempat yang tergabung dalam Mitra Pengelola Wisata Gunung Ciremai (MPGC) Sunan Parung. Selain keindahan alamnya, Situ Sangiang menyimpan kisah sejarah dan nilai spiritual yang mendalam.
Berdasarkan cerita turun-temurun dari para leluhur dan masyarakat sekitar, Situ Sangiang dahulu menjadi tempat ngahiang atau moksa dari Sunan Talaga Manggung beserta keratonnya. Konon, pada abad ke-15, Sunan Talaga Manggung dikhianati oleh menantunya yang bernama Patih Palembang Gunung. Setelah pengkhianatan itu, kerajaan beserta seluruh penghuninya menghilang misterius dan baru ditemukan sekali lagi pada masa penjajahan Belanda. Sejak saat itu, danau ini dianggap suci dan dipercaya memiliki energi mistis yang kuat.
Saat memasuki kawasan danau, suasana sejuk dan sunyi langsung menyambut. Pepohonan lebat, suara burung merdu, serta hewan liar seperti monyet dan elang menambah kesan alami dan hutan tropis tetap lestari. Di tengah kawasan itu terdapat makam Sunan Parung, raja yang diyakini sebagai penguasa Talaga Manggung. Makam ini kerap dikunjungi oleh para peziarah, terutama pada tanggal 1 Syura atau hari-hari tertentu yang dianggap sakral.
Masyarakat Desa Sangiang masih memegang teguh berbagai kepercayaan tradisional. Salah satunya mengenai pohon Nunuk yang dipercaya sebagai pintu menuju dunia gaib Kerajaan Talaga Manggung. Ikan-ikan di danau juga dianggap sebagai jelmaan prajurit kerajaan yang setia menjaga. Jika ada ikan mati, maka warga akan menguburkannya dengan tata cara seperti manusia, karena membiarkan ikan itu begitu saja dipandang tidak menghormati.
Selain kisah mistis, masyarakat juga menjalankan beragam ritual adat secara rutin. Contohnya, Upacara Nyiramkeun, yakni ritual membersihkan benda pusaka peninggalan kerajaan dengan air bunga mayang yang diyakini membawa berkah dan kemampuan menyembuhkan penyakit. Ada pula Upacara Pareresan, dimana masyarakat melakukan ziarah ke makam Sunan Parung sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur. Tidak kalah penting, Upacara Nadzar atau Motong Domba dilakukan ketika permohonan atau doa warga dikabulkan, dengan menyembelih domba dan membagikan dagingnya agar semua warga dapat merasakan kebahagiaan bersama.
Uniknya, situasi alam di Situ Sangiang juga dianggap sebagai tanda perubahan musim. Saat musim kemarau datang, permukaan air danau naik, tapi saat musim hujan, permukaannya justru menurun. Fenomena ini dipercaya sebagai petunjuk alam yang sudah diyakini turun-temurun oleh warga sekitar.
Bagi masyarakat Desa Sangiang, Situ Sangiang bukan sekadar danau, tapi juga simbol rasa syukur kepada Tuhan, penghormatan pada leluhur, hidup rukun, serta menjaga keseimbangan dengan alam. Nilai-nilai ini menjadi sebab mengapa tradisi tetap lestari meski zaman terus berganti.
Di era modern sekarang, kearifan lokal seperti ini bisa dikenal lebih luas lewat media digital seperti tulisan, vlog, dan unggahan di media sosial. Hal ini membantu generasi muda memahami dan bangga pada budaya mereka tanpa harus meninggalkan kemajuan teknologi. Situ Sangiang membuktikan bahwa keindahan alam, legenda, dan tradisi bisa berjalan berdampingan. Tempat ini tak hanya memanjakan mata, tapi juga mengajarkan kita bagaimana hidup selaras dengan alam dan menghargai warisan leluhur yang berusia ratusan tahun.