Di siang yang cukup terik ini, aku menikmati segelas jus alpukat di kursi pinggiran jalan kota. Sekilas aku menyadari bahwa di awal pertemuan kita dulu kita juga menikmati jus alpukat untuk berbuka puasa.
‘Jus ini manisnya pas, tapi kenapa kalau minumnya sambil lihat kamu jadi tambah manis, ya?’ katamu waktu itu. Aku tersipu, kalimat itu adalah gombalan pertama darimu sejak pertama kali kita dekat.
Aku mengisap sedikit demi sedikit jus yang ku nikmati siang itu. Kata Nanda temanku, ‘Kenapa lo selalu memesan jus alpukat?’ aku hanya sembarangan saja menjawabnya ‘Karena gue suka alpukat aja.’ Jawabku
Kata Nanda banyak jus-jus yang lain yang lebih enak dari jus alpukat, tapi ini bukan hanya sekedar rasa yang dinikmati oleh lidah. Karena jika kamu ingat, jus alpukat juga minuman yang aku pesan di pertemuan terakhir kita. Saat kita sama-sama terbuka apa yang kita inginkan, saat kita belum benar-benar untuk saling melepaskan.
‘Kamu juga makan, Bee.’ Katamu saat itu, yang mana kamu memesan semangkuk soto. Aku hanya tersenyum semu, menanggapi tawaranmu dan tetap hanya memesan segelas jus alpukat.
Kala itu, sesap demi sesap hanya rasa pahit yang aku telan dari jus itu. Aku menikmatinya sambil berpikir, berapa kali lagi aku akan mendengar kata sayang darimu itu?
Mungkin saat itu sesak bukan hanya melanda hatiku saja, tapi juga melanda hatimu. Siang itu berlalu, akhirnya kita memutuskan untuk pulang tanpa ada kepastian. Iya, entah kemana arah hubungan ini, kita belum tahu akan berakhir seperti apa.
Aku tidak pernah menyangka, jika saat itu juga menjadi terakhir kalinya aku dibonceng olehmu, di motor supra kesayanganmu. Katamu, ‘Ora supra, ora mesra.’ Tapi mengapa saat itu tidak ada kemesaraan sama sekali diantara kita, aku canggung untuk merengkuh pinggangmu. Hatiku menangis, pikiranku berkelana. Ada sesak yang tidak bisa aku ucapkan.
Motormu pun terpakir di tempat biasa kita berpisah, di sebuah mini market. Kita duduk di kursi khusus pelanggan, keheningan menyelimuti antara kita berdua. ‘Aku butuh sendiri, bukan aku tidak menyayangi kamu lagi. Tapi aku ingin sendiri.’ Katamu memecah keheningan. Sesak, ada gelombang yang tertahan di mataku. Aku hanya tersenyum menanggapi keinginanmu itu. ‘Oke, kalo itu mau kamu. Aku kembalikan semua barang pemberian kamu.’ Kataku sambil menyerahkan helm pemberianmu.
‘Bee, helmnya buat kamu saja.’ Bahkan saat kamu memutuskan untuk mengakhiri kisah kita, kamu masih memanggilku dengan sebutan itu.
‘Gak usah, kamu bawa aja. Helm itukan kamu kasih buat dipakai kalo kita mau ketemu,’ jawabku sambil membuang muka karena tidak berani menatap matamu. Mata yang selalu membuat aku jatuh hati padamu. ‘Emangnya kita gak bakal ketemu lagi, Bee?’ Tanyamu. Dengan tegas aku menjawab, ‘Tidak, yang selesai biarlah selesai.’ Kamu tidak menjawab sepatah kata pun. ‘Kalo gitu aku pulang ya.’ Ucapku sambil melangkah meninggalkanmu, tanpa menoleh aku naik ke dalam angkutan umum yang kebetulan sedang menunggu penumpang. Perpisahan kali itu tetap menyisakan sedih seperti biasanya, namun sedih yang ku alami di hari itu benar-benar menyayat relung kalbu. Mungkin karena pertemuan terakhir di antara kita berdua.
Ah, ternyata jusku sudah habis. Tapi rasa pahit alpukatnya masih tersisa di lidah juga hati. Pahit sekali rasanya hidupku tanpa kamu. Tak apa, aku tidak bisa menggenggam tangan yang ingin dilepaskan. Aku tidak bisa terus mengikat kamu untuk terus sama-sama menikmati pahit dan manisnya perjalanan hidup ini.