Cerita
Senyum di Balik Ransel, Nasihat di Balik Helm
Senyum di Balik Ransel, Nasihat di Balik Helm

Di tengah segala ketidakpastian langkah, satu-satunya yang pasti adalah tuntutan untuk terus bergerak.

Senyum di Balik Ransel, Nasihat di Balik Helm

Oleh: Wyne Dwi Cahyani

Ada hari-hari ketika langit terasa seberat beban di pundak, dan bisikan kota seolah hanya menambah riuh di dalam kepala. Hari itu, Bandung memelukku dalam suasana kelabu, sama seperti gundah yang diam-diam bersarang di hati. Di tengah segala ketidakpastian langkah, satu-satunya yang pasti adalah tuntutan untuk terus bergerak.

Awan hitam menyelimuti langit Bandung. Berisik suara kendaraan memenuhi daun telinga. Meski langit mendung, namun tetap saja terasa panas. Tak ada angin sejuk yang menyapa melainkan hawa panas dari kenalpot kendaraan yang aku dapatkan. Kulihat jam menunjukkan pukul 12.30. Dengan menggendong ranselku, aku pesan satu ojek online menuju kampus.

“Pak, mohon dipercepat, ya!” satu pesan kukirimkan pada pengemudi.

5 menit kemudian ojek online datang.

Namanya Pak Hilman. Beliau yang akan mengantarkanku ke kampus. Tidak seperti pengemudi ojol lainnya. Ada percapakan hangat yang  sempat mengisi disela-sela perjalanan.

“Kuliah semester berapa kalo boleh tau, Teh? Tanya beliau memulai percakapan.

“Semester 4, Pak” jawabku singkat.

“Wah masyaa allah ... berarti tinggal tiga atau empat semester lagi, ya? Lanjut tanyanya.

“Empat semester lagi, Pak”.

“Belum libur ya kalo kuliahan? Kalo liat anak SMP-SMA udah pada libur.”

“Belum, Pak. Kami sedang melaksanakan ujian akhir semester.”

“Waaahhh, semoga lancar yaa ujiannya.”

“Sebenernya saya tertinggal dua tahun dari angkatan saya. Teman-teman saya bulan ini pada di wisuda. Saya malah masih pusing ngerjain projek UAS, Pak.” Curhatku sambil tertawa-tawa padahal dalam hati agak sedih.

“Gapapa semoga dilancarkan, dimudahkan segala  urusannya, dipermudah ujian akhirnya, dipermudah seminar proposalnya nanti dimudahkan lagi skripsinya, pengabdiannya dan yang lainnya. Toh, meskipun tertinggal ga berhenti di tempat, kan? Masih melanjutkan perjalanan, meskipun tertinggal beberapa langkah dari orang lain. Teteh ga gagal karena tertinggal. Masih melangkah maju dan ga memutuskan berhenti itu adalah pencapaian yang keren.” Jawab Pak Hilman meghiburku.

Tersentuh hatiku. Padahal baru bertemu beberapa menit yang lalu. Seolah pak hilman mengetahui keadaanku saat ini. Andai bapak yang mengucapkan kalimat itu. Memelukku erat. Tapi itu sebuah ketidakmungkinan yang tak bisa aku dapatkan. Alfatihah untuk bapak.

“Ngambil jurusan apa?” lanjutnya lagi

“Ngambil prodi pendidikan bahasa dan sastra indonesia, Pak”

Masyaa Allah keren! Berarti nanti jadi guru, ya? Biasanya kalo bahasa gitu harus bisa public speaking ya?”

Insyaa Allah bisa jadi guru, bisa jadi konten kreator, jurnalis, public speaking, penutur bahasa asing, copywriting dan masih banyak yang lainnya Pak.”

Masyaa Allah banyak pisan ... mirip jurusan HI, ya?”

“Kan, sekarang bahasa Indonesia sudah jadi bahasa internasional, Pak. Makanya bisa jadi guru ga hanya di dalam negeri tapi bisa jadi guru di luar negeri.  Di luar negeri juga sekarang ada pelajaran bahasa Indonesianya Pak.” Jelasku antusias.

Masya Allah ... keren, keren. Teteh berarti bisa public speaking juga kaya MC, moderator danyang lainnya?”

Insyaa Allah bisa, Pak, sedikit-sedikit.” Jawabku malu-malu.

“Mantap!” Jawab Pak Hilman dengan antusias.

“Kalo didengarkan dari penyampaian komunikasinya formal, memang seperti itu atau karena jurusannya?”

“Oh, iya kah, Pak? Saya emm...  malu, Pak, bingung bagaimana menunjukkan bentuk sopan santun saya. Tapi biasanya enggak, kok, Pak. Ini hanya baru pertama kali saja,” jawabku gugup. Tanpa aku sadari bentuk penyampaian komunikasiku menjadi formal.

“Oalah ... santai aja, Teh. Tapi bagus sih, karena sopan santun kan mencerminkan sifat seseorang dan bagaimana kebiasaanya dalam berkomunikasi. Sopan santun itu baik, Teh. Kan misalkan kalo kita ingin menyampaikan sebuah pesan baik komunikasi kita juga harus  baik. Agar sampai dan diterima baik pula sama orang lain. Beda cerita kalo dalam penyampaiannya tidak baik  diterima oleh orang lain pun demikian.” Jelasnya panjang lebar.

Hehe .. betul Pak.” Balasku singkat. Padahal dalam hati aku berbicara sendiri. Bapak ini punya komunikasi baik dengan orang yang baru dikenal. Dari mulai berangkat tadi sepertinya bapak ini terlihat baik. Baik hatinya maupun perkataannya.

Tak terasa, motor Pak Hilman sudah berhenti di depan gerbang kampus. Langit Bandung memang masih mendung, dan suara bising kendaraan tetap memenuhi telinga. Namun, entah mengapa, hawa panas tadi terasa sedikit mereda, berganti dengan kehangatan yang merambat dari hati. Bukan karena angin sejuk yang menyapa, melainkan karena sebentuk 'angin' kebijaksanaan yang baru saja aku dapatkan.

Kulihat Pak Hilman mengangguk ramah sebelum beranjak. Percakapan singkat tadi, lebih dari sekadar mengantar raga menuju kampus, tapi juga menuntun jiwa yang sempat tersesat di persimpangan rasa. Ini bukan tentang seberapa cepat aku sampai, atau seberapa banyak langkah yang terlewati orang lain. Ini tentang bagaimana sebuah hati yang tulus, bahkan dari orang yang baru dikenal, bisa merangkul dan memberi kekuatan.

Terima kasih, Pak Hilman. Senyum di balik ransel ini bukan lagi karena harapan semu, tapi karena bekal nasihat yang kini terukir di hati—bahwa melangkah maju, tanpa menyerah, adalah pencapaian yang keren, tak peduli berapa pun jeda yang kita punya.

Bandung, 30 Juni 2025

 





Wyne Dwi Cahyani

Wyne Dwi Cahyani adalah anggota komunitas Literasiliwangi yang bergabung sejak Dec 2024



0 Komentar





Cerita Lainnya