Bahasa dan Sastra
“LA GALIGO NAPAS KEBIJAKSANAAN TANAH BUGIS YANG HIDUP DALAM EPIK TERPANJANG DI DUNIA”
“LA GALIGO NAPAS KEBIJAKSANAAN TANAH BUGIS YANG HIDUP DALAM EPIK TERPANJANG DI DUNIA”

Ketika dunia membicarakan warisan budaya, nama-nama seperti Mahabharata dan Iliad sering menjadi rujukan utama. Namun Indonesia sebenarnya memiliki karya epik yang tidak kalah megah, bahkan lebih panjang dan sarat nilai, yaitu La Galigo.

Ketika dunia membicarakan warisan budaya, nama-nama seperti
Mahabharata dan
Iliad sering menjadi rujukan utama. Namun Indonesia sebenarnya memiliki karya epik yang
tidak kalah megah, bahkan lebih panjang dan sarat nilai, yaitu La Galigo. Berakar dari tradisi
Bugis, epos ini bukan sekadar cerita, tetapi rekaman pandangan hidup dan kearifan lokal
yang diwariskan turun-temurun. Di tengah laju modernisasi, La Galigo membuktikan bahwa
tradisi lokal dapat bertahan, beradaptasi, dan tetap bersinar di kancah global.

La Galigo sering disebut sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia. Naskah-
naskahnya tersusun dalam ratusan lontaraq yang membentang hingga belasan ribu halaman.
Ceritanya memuat mitologi penciptaan dunia, kisah para tokoh setengah dewa seperti
Sawerigading, We Tenriabeng, dan La Galigo, serta perjalanan manusia dalam mencari
keseimbangan hidup. Setiap bagian mengandung simbol budaya, etika, dan pandangan
kosmologis yang menggambarkan cara masyarakat Bugis memahami hubungan antara
manusia, alam, dan dunia spiritual.

Kearifan lokal dalam La Galigo tampak jelas dalam nilai-nilai yang mendasari
perilaku tokohnya. Konsep siri’ na pacce, yang menekankan harga diri dan solidaritas,
tercermin melalui keberanian Sawerigading dan komitmennya menjaga kehormatan. Nilai ini
hingga kini menjadi pedoman moral masyarakat Bugis. Seseorang boleh menghadapi banyak
rintangan, tetapi tidak boleh kehilangan kehormatannya. Selain itu, nilai pesse, yaitu
kepekaan terhadap penderitaan orang lain, tampak melalui penggambaran tokoh-tokoh yang
bukan hanya bertindak sebagai pejuang, tetapi juga menjaga kesejahteraan dan harmoni.
Penghormatan terhadap alam juga terlihat melalui kesadaran kosmologis tentang

keseimbangan antara dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Bugis menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupan yang harus
dijaga, bukan dieksploitasi.
Keistimewaan La Galigo tidak berhenti pada isinya. Epos ini juga telah tampil di
pentas dunia. Pementasan karya Robert Wilson yang berjudul I La Galigo memperkenalkan
epos ini kepada penonton internasional melalui perpaduan musik tradisional Bugis, visual
modern, dan tata artistik yang memukau. Berbagai festival budaya, riset akademik, dan
program digitalisasi lontaraq turut membantu membuka akses publik terhadap warisan ini.

Upaya tersebut membuat La Galigo dikenal luas, tidak hanya sebagai cerita daerah, tetapi
juga sebagai bagian dari identitas budaya Indonesia.
Di era modern, La Galigo tetap relevan karena nilai-nilai yang dikandungnya dapat
menjawab berbagai tantangan zaman. Etika siri’ na pacce dapat menjadi landasan dalam
dunia kerja yang menuntut integritas dan tanggung jawab. Kesadaran ekologis dalam epos ini
sejalan dengan isu keberlanjutan dan perubahan iklim, mengingat konsep keseimbangan alam
telah lama hidup dalam kebudayaan Bugis. Selain itu, keberadaan La Galigo membuktikan
bahwa budaya lokal dan modernitas dapat berjalan berdampingan. Budaya justru menjadi
modal untuk beradaptasi dan berkontribusi dalam konteks global.

Pelestarian La Galigo kini berlangsung melalui berbagai cara. Digitalisasi naskah
untuk kepentingan penelitian, revitalisasi seni tutur dan musik tradisional, hingga
pemanfaatannya dalam pendidikan menunjukkan bahwa warisan budaya ini terus hidup.
Sekolah dan perguruan tinggi mulai mengenalkan La Galigo bukan hanya sebagai teks sastra,
melainkan sebagai pintu masuk untuk memahami budaya, sejarah, dan cara pandang
masyarakat Bugis. Teknologi juga berperan besar melalui penyebaran konten digital, seperti
artikel, podcast, animasi, dan dokumenter yang membuat generasi muda lebih mudah
mengakses dan menghargai warisan lokal.
Dalam konteks keanekaragaman budaya Indonesia, La Galigo menjadi bukti bahwa
setiap daerah menyimpan kearifan yang bernilai tinggi. Epos ini memadukan unsur mitologi,
nilai moral, dan pandangan hidup yang membentuk karakter masyarakatnya. Sebagai tema
artikel populer, La Galigo memiliki keunggulan karena sifatnya yang unik. Tradisional tetapi
terus dihidupkan, lokal tetapi sudah mendunia, dan kuno tetapi tetap relevan. Pembahasan
tentang karya ini dapat memperkaya wawasan pembaca tentang pentingnya menjaga, memahami, dan mengapresiasi budaya sendiri.

La Galigo bukan sekadar cerita kuno, melainkan cermin identitas dan kebijaksanaan
masyarakat Bugis yang terus bertahan hingga saat ini. Di tengah derasnya perubahan, epos ini
mengingatkan kita bahwa akar budaya tetap menjadi fondasi bagi perjalanan ke masa depan.
Nilai-nilai tentang keberanian, kehormatan, solidaritas, serta harmoni dengan alam menjadi
warisan penting yang dapat menginspirasi generasi hari ini. Melalui pemahaman yang lebih
luas dan pelestarian yang berkelanjutan, La Galigo akan terus menjadi cahaya yang
menerangi keberagaman budaya Indonesia.




Riska Dini Fatimah

Riska Dini Fatimah adalah mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Siliwangi. Ia memiliki ketertarikan besar pada dunia literasi, terutama dalam membaca dan mengkaji karya sastra modern. Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, Riska juga gemar traveling dan mendaki gunung, dua kegiatan yang menurutnya sama-sama membuka cakrawala, baik secara fisik maupun batin.



0 Komentar





Bahasa dan Sastra Lainnya