Dalam masyarakat Sunda, ada satu nilai lama yang sampai sekarang masih terasa kuat keberadaannya, yaitu sabilulungan. Kata ini mungkin terdengar sederhana, tetapi maknanya sangat dalam. Sabilulungan bisa dipahami sebagai kebiasaan bekerja bersama, saling menolong, dan bergerak sebagai satu komunitas demi kebaikan yang lebih besar. Nilai ini bukan sekadar ajakan untuk gotong royong, tetapi juga menjadi cara pandang orang Sunda terhadap hidup: bahwa manusia tidak bisa berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak dulu, orang Sunda percaya bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Nilai itu diwariskan lewat keluarga, lingkungan kampung, hingga kehidupan masyarakat luas. Di banyak desa atau kampung Sunda, kita masih bisa melihat bagaimana warga berkumpul ketika ada hajatan, bergotong royong saat memperbaiki jalan, atau saling membantu ketika ada musibah. Semua ini dilakukan tanpa paksaan, tanpa pamrih, dan tanpa menunggu imbalan apa-apa. Mereka bergerak karena merasa terhubung satu sama lain.
Jika dilihat dari sisi bahasa, sabilulungan memang mengandung unsur “silih” yang berarti saling. Saling bantu, saling dukung, saling menjaga. Dalam kehidupan nyata, nilai ini membentuk karakter masyarakat Sunda yang ramah, hangat, dan mudah bekerja sama. Budaya “someah hade ka semah”—bersikap baik kepada tamu—pun sebenarnya masih terkait dengan semangat sabilulungan. Ada keyakinan bahwa kebaikan yang diberikan kepada orang lain pada akhirnya akan kembali. Maka dari itu, sabilulungan bukan sekadar perilaku, tetapi filosofi hidup yang memengaruhi cara orang Sunda berdiri, melangkah, berbaur, dan memecahkan masalah.
Menariknya, nilai yang lahir dari kehidupan tradisional masyarakat Sunda ini justru semakin relevan pada kehidupan modern. Dunia sekarang bergerak begitu cepat. Teknologi membawa kemudahan, tetapi juga memicu lahirnya sikap individualis. Banyak anak yang lebih akrab dengan layar gawai dibanding dengan interaksi sosial. Dalam kondisi seperti ini, sekolah menjadi salah satu tempat penting untuk mengembalikan semangat kebersamaan. Di sinilah nilai sabilulungan dapat berperan besar, terutama sebagai fondasi pendidikan karakter. Sekolah bukan hanya tempat belajar materi pelajaran, tetapi juga tempat belajar menjadi manusia yang utuh, mampu bekerja sama, peduli, dan memahami orang lain.
Ketika nilai sabilulungan dibawa ke dalam ruang kelas, suasana pembelajaran bisa menjadi jauh lebih hidup. Misalnya ketika guru memberi tugas kelompok. Aktivitas sederhana seperti itu dapat mengajarkan banyak hal. Siswa belajar membagi peran, menyatukan ide, menyelesaikan konflik, dan merayakan hasil bersama. Mereka juga belajar bahwa keberhasilan bukan hanya milik satu orang yang paling pintar, tetapi hasil kerja sama semua anggota kelompok. Dalam prosesnya, siswa yang biasanya pendiam pun terdorong untuk berkontribusi, sementara siswa yang dominan belajar untuk mendengarkan. Semua bergerak dalam ritme kebersamaan, bukan kompetisi yang saling sikut. Inilah wujud sabilulungan dalam pembelajaran modern.
Tidak hanya dalam tugas kelompok, nilai sabilulungan bisa muncul dalam hal-hal kecil sehari-hari di sekolah. Misalnya ketika siswa membersihkan kelas bersama, mengerjakan kerja bakti, menata taman sekolah, atau sekadar membantu teman yang kesulitan memahami pelajaran. Kadang yang terlihat kecil sebenarnya menyimpan nilai besar. Saat seorang siswa spontan membantu teman yang tertinggal, itu adalah sabilulungan. Saat ada yang meminjamkan alat tulis kepada temannya tanpa diminta, itu juga bentuk sabilulungan. Nilai ini melekat dalam tindakan-tindakan kecil yang dilakukan dengan tulus. Dari situ, karakter terbentuk bukan lewat ceramah panjang, tetapi lewat pengalaman nyata.
Selain itu, sabilulungan juga mengajarkan empati. Ketika seseorang terbiasa bekerja bersama, ia belajar melihat orang lain bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai rekan yang bisa saling menguatkan. Siswa yang dibesarkan dalam budaya sabilulungan biasanya lebih mudah memahami perasaan orang lain. Mereka menghargai perbedaan, baik itu perbedaan kemampuan, latar belakang, maupun kepribadian. Justru perbedaan itulah yang membuat kelompok lebih kaya. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada yang teliti, ada yang kreatif, ada yang pandai berbicara. Ketika semuanya disatukan, hasilnya lebih baik daripada dikerjakan sendiri. Pesan ini sangat penting bagi generasi muda yang tumbuh dalam era kompetitif. Mereka perlu memahami bahwa kerja sama tidak mengurangi kemampuan individu—justru memperkuatnya.
Lebih jauh lagi, menghidupkan sabilulungan di sekolah bisa menjadi cara untuk menjaga jati diri budaya Sunda. Banyak nilai lokal yang perlahan mulai dilupakan karena dianggap kuno atau tidak cocok dengan zaman sekarang. Padahal, kearifan lokal justru bisa menjadi penyeimbang di tengah perkembangan teknologi dan arus budaya global. Sabilulungan memberikan fondasi moral yang dibutuhkan siswa untuk tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter. Dengan membiasakan anak bekerja bersama, berbagi tanggung jawab, dan saling menolong, sekolah ikut menjaga kesinambungan nilai budaya yang sangat berharga ini.
Dunia saat ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari krisis sosial, tekanan mental, hingga persaingan yang semakin ketat. Dalam kondisi ini, nilai sabilulungan menawarkan jalan yang lebih manusiawi. Nilai ini mengingatkan bahwa manusia diciptakan untuk saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. Sekolah memiliki peran besar untuk membawa kembali nilai itu ke tengah kehidupan generasi muda. Dengan menjadikan sabilulungan sebagai bagian dari pembelajaran, guru tidak hanya mengajar pelajaran di buku, tetapi juga menanamkan pelajaran hidup yang jauh lebih penting.
Pada akhirnya, menghidupkan nilai sabilulungan dalam pembelajaran bukan hanya soal melestarikan budaya Sunda, tetapi juga membangun masa depan. Generasi muda yang tumbuh dengan nilai kebersamaan akan lebih siap menghadapi dunia apa pun bentuknya. Mereka bisa bekerja sama, berempati, dan berkontribusi dalam masyarakat. Di era yang serba cepat dan penuh tantangan, karakter seperti itu sangat dibutuhkan. Dunia boleh berubah, teknologi boleh semakin canggih, tetapi nilai seperti sabilulungan akan selalu relevan. Ia adalah pelajaran hidup yang tidak pernah lekang oleh waktu, dan selama masih ada sekolah dan guru yang mau menanamkannya, nilai itu akan terus hidup dan menjadi kekuatan besar bagi generasi mendatang.