Hadiah Dari Sepi
Hadiah Dari Sepi

Popon lahir dalam kemiskinan, tanpa ayah dan ditinggal ibunya sejak kecil. Ia tumbuh dengan kerja keras, menjual cilok demi bertahan hidup. Dewasa, ia menikah dengan Kusnaedi dan memiliki anak bernama Tiwi. Karena trauma masa lalu, Popon memanjakan anaknya agar tidak merasakan kesepian seperti dirinya. Namun, saat kesulitan ekonomi datang dan Popon gagal memenuhi permintaan Tiwi, ia sadar bahwa cinta seorang ibu seringkali tak dikenali saat itu juga. Meski hidup berat, Popon tetap berjuang, karena yang ia inginkan hanya satu: anaknya merasa disayangi.

Popon lahir di hari yang basah, di ruang kelahiran yang lebih mirip kandang sapi dibanding tempat menyambut kehidupan baru. Ibunya, Ade, berusia 19 tahun dan menangis bukan karena bahagia. Tak ada ayah, tak ada pelukan, tak ada nama belakang. Nama "Popon" pun diberikan oleh bidan kampung yang tersentuh karena bayi itu lahir diam, tanpa tangis. Popon tumbuh tanpa tahu siapa ayahnya. Ketika anak-anak lain dijemput sepulang sekolah, ia pulang sendiri sambil menyeret sandal jepit yang sobek. Pernah satu kali ia duduk di bawah tiang bendera sekolah sambil memandangi teman-temannya dijemput motor. Dalam hatinya muncul perasaan yang mirip tokoh dalam “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis: mengapa surga terlihat begitu jauh dari hidup orang-orang kecil seperti kami? Ibunya meninggalkan desa ketika Popon berusia empat tahun, untuk bekerja sebagai ART di Jakarta. “Ibu titipkan kampung ini sama kamu, ya,” katanya. Popon tak mengerti, tapi mengangguk. Maka sejak saat itu, hidupnya adalah urusan bertahan. Ia mulai membantu tetangga membuat kue, menyapu halaman masjid, dan di usia delapan tahun, ia mulai berjualan cilok keliling mengelilingi desa, mengingatkan kita pada kerasnya dunia remaja miskin seperti dalam “Cerita dari Blora” karya Pramoedya Ananta Toer.

Waktu berlalu, Popon tumbuh jadi perempuan yang tangguh, meski kulitnya terbakar matahari dan tangannya kasar karena adonan cilok. Ia bertemu Kusnaedi seorang buruh yang tak banyak bicara, tapi tahu caranya menghargai orang yang datang dari gelap. Pernikahan mereka sederhana, hanya doa dan tumpeng, tapi cukup membuat Popon merasa ada rumah. Mereka mempunyai anak bernama Tiwi, yang sejak kecil tak pernah jauh dari pelukan ibunya. Popon pikir, ini hadiah dari Tuhan atas sepinya masa kecil. Tapi ternyata, Tiwi tumbuh jadi anak yang manja menangis kalau keinginannya tak dipenuhi, marah kalau ibunya telat menyuapi. Popon mencoba tegas, tapi hatinya terlalu penuh luka lama. Ia tahu rasanya hidup tanpa dimanja, dan tak ingin anaknya merasakannya. Ia ingin Tiwi tumbuh tanpa kesepian. Jadi ia selalu menuruti. Mulai dari boneka beruang lucu, tablet edukasi, sampai minta les menari padahal mereka hanya punya satu kamar dan kompor yang harus diganjal batu bata. Kadang Popon duduk sendiri di malam hari, membuka-buka buku bekas yang dibelinya dari loakan. Suatu malam ia membaca “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis dan menangis. Ia merasa dirinya seperti tokoh Hanafi terjebak di antara nilai lama dan dunia yang tak pernah sepenuhnya menerimanya. Apakah caranya mencintai anak ini benar? tanyanya dalam hati.

Suatu hari, Popon kehabisan uang dan tidak bisa membelikan Tiwi mainan seperti janji. Tiwi menangis hebat, lalu berteriak, “Mama pelit!” Popon hanya diam. Ia tahu, bukan kemarahan anaknya yang melukai hati, tapi kenyataan bahwa segala pengorbanan bisa dibalas secepat itu oleh kecewa kecil. Tapi Popon tidak menyerah. Ia mulai berjualan cilok keliling lagi, menyusuri perumahan dengan stroller tua yang diubah jadi gerobak kecil. Di satu jalan, seorang ibu memanggilnya dan berkata, “Saya dulu juga begitu, Bu. Tapi hidup ini seperti cerita Siti Nurbaya, kadang kita tak punya pilihan, tapi tetap harus melanjutkan.” Popon tersenyum. Ia sadar, selama ini hidupnya memang tak mudah, tapi ia punya kekuatan yang tak bisa dibeli keteguhan. Ia hanya ingin satu hal: membuat anaknya merasa disayangi. Mungkin kelak Riri akan mengerti, seperti Popon akhirnya mengerti bahwa cinta ibu tak selalu datang dalam bentuk pelukan, tapi bisa muncul dalam bentuk bumbu kacang, uang seribuan, dan doa-doa yang diucapkan tanpa suara.