Riska Dewi Purnama

Riska Dewi Purnama


Warna-Warna yang Hilang

Kisah cucu perempuan pertama yang tumbuh dalam cinta kakek tercinta. Setelah kepergiannya, dunia terasa kehilangan warna. Namun kenangan dan doa membuktikan cinta tak pernah benar-benar pergi.

Warna-Warna yang Hilang
Karya: Riska

Halo, namaku Riska. Aku anak perempuan pertama dalam keluarga.
Kata banyak orang, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Tapi tidak denganku. Cinta pertamaku adalah Kakek.

Aku lahir di Jeddah, Arab Saudi. Hari itu semua orang sibuk dua mobil dikerahkan menuju rumah sakit, satu khusus keluarga, satu lagi berisi orang-orang penting hari itu Ibuku, Ayah, Kakek, Nenek, dan Uwa. Tapi lucunya, mobil keluarga justru tiba lebih dulu. Mereka kebingungan “Lah... ibunya di mana?” katanya sambil tertawa saat mengenangnya.

Aku lahir besar 3,9 kilogram. Dan bertumbuh lebih besar dalam cinta yang perlahan-lahan kukenal sebagai sesuatu yang dalam dan tulus, cinta dari Kakek.

Ayah sibuk bekerja. Maka hari-hariku diisi oleh tangan tua yang hangat itu. Dari pagi hingga malam, Kakeklah yang menemani. Bagiku, ia bukan sekadar pengganti sosok ayah. Ia adalah pahlawan ku.

Ada satu hari yang tak pernah kulupa. Saat bermain di ruang tamu, kepalaku membentur meja kaca. Darah mengalir di keningku. Nenek dan Ibu panik, tapi Kakek tetap tenang. Ia menggendongku, menenangkan semua orang, lalu membawaku ke klinik. Setelahnya, aku pulang dengan kotak obat... dan tas berisi mainan baru. Luka itu masih tertinggal di keningku hingga kini. Bekasnya tak bisa hilang, dan aku suka. Karena itu adalah jejak cinta yang tidak pernah pudar.

Saat usiaku dua tahun, orang tuaku memilih berpisah. Aku pulang ke Indonesia bersama Ibu, Uwa, dan Omah. Tapi bukan Ayah yang mengirim uang jajan, bukan Ayah yang mengurus kebutuhanku. Yang mengurus ku itu masih Kakek. Dari jauh, dari seberang Laut Merah. Ia tetap menjadi cinta pertamaku yang tidak pernah luntur.

Lalu, di tahun 2019, Kakek berpulang. Ia dimakamkan di tanah tempat aku dilahirkan Jeddah. Sejak hari itu, dunia yang tadinya penuh warna berubah menjadi hitam dan putih. Tak ada lagi pelukan dengan cerita. Tak ada suara lembut yang tahu persis kapan aku sedang sedih.

Kadang, aku masih menangis. Diam-diam, di sela malam, hanya untuk mengingat kembali tawa Kakek dan tangan tuanya yang menepuk lembut kepalaku. Tapi aku tahu, kalau aku terus bersedih, hatinya pun takkan tenang. Maka yang kulakukan sekarang hanyalah mendoakan... dan memeluk rindu itu dalam diam.

Kakek...
Kalau dunia ini bisa menghubungkan dua hati lewat doa, aku harap kau mendengarku. Dari cucu perempuan pertamamu. Yang mencintaimu, bahkan lebih dari pertama kali aku belajar mencinta.

Kini aku tahu, bahwa kehilangan tidak pernah benar-benar selesai. Ia hanya berubah bentuk dari tangis menjadi diam, dari rindu menjadi doa.

Beberapa kali, aku merasa seperti duduk sendiri di tengah keramaian. Semua orang tampak tumbuh, tertawa, bergerak. Sedangkan aku… masih sering terdiam menatap langit, bertanya: apakah Kakek sedang melihatku dari jauh?

Namun perlahan, aku belajar menerima. Bahwa mencintai tak selalu harus memeluk. Bahwa kenangan takkan pernah pergi selama aku masih mengingat. Dan bahwa Kakek, meski raganya tiada, tetap tinggal di bagian terdalam dari diriku.

Kini, aku menulis.
Untuk Kakek.
Untuk diriku sendiri.
Untuk cinta yang tidak pernah benar-benar selesai.