Kawih Sunda pernah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa Barat. Irama lembutnya mengalun di sela aktivitas rumah tangga, mengisi ruang-ruang sunyi di sore hari, hingga menyertai berbagai ritual adat yang sakral. Kawih bukan sekadar hiburan; ia adalah suara batin masyarakat Sunda yang mewakili rasa, jiwa, dan pemikiran mereka. Namun kini, keberadaan kawih semakin memudar. Di tengah derasnya arus globalisasi dan dominasi budaya populer, kawih perlahan kehilangan tempatnya, tidak lagi ditemui sesering dahulu. Musik modern yang cepat dan praktis hadir melalui telepon genggam, menggantikan nyanyian tradisi yang membutuhkan ruang, suasana, dan ketenangan untuk dihayati. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan mendalam: apakah kawih Sunda akan terus bergerak menuju pinggiran hingga akhirnya lenyap dari memori kolektif bangsa?
Kawih Sunda adalah salah satu bentuk seni vokal tradisional yang telah hidup berabad-abad di tengah masyarakat Sunda. Berbeda dengan lagu pop modern yang bertumpu pada sensasi dan ritme cepat, kawih mengutamakan kelembutan nada dan kedalaman pesan. Dalam tradisi Sunda, kawih sering dinyanyikan dengan pola melodis yang mengalir tenang, menggunakan lirik berbahasa Sunda halus yang sarat petuah. Kawih juga dikelilingi estetika yang khas: pengucapannya lembut, alunannya terukur, dan makna yang dikandungnya sangat kaya. Banyak kawih memuat nilai moral, ajaran budi pekerti, pandangan hidup sederhana, hubungan manusia dengan alam, hingga rasa syukur terhadap pencipta. Beberapa judul kawih yang dikenal luas antara lain “Es Lilin,” “Bubuy Bulan,” “Cing Cangkeling,” “Tokecang,” “Panineungan,” “Manuk Dadali,” “Warung Pojok,” “Sabilulungan,” dan “Papatong.” Dengan demikian, kawih bukan hanya musik, tetapi media pendidikan dan pewarisan nilai yang tidak tertulis namun kuat keberadaannya.
Pada masa lalu, kawih tumbuh di tengah masyarakat sebagai bagian integral kehidupan. Seorang ibu dapat menyanyikan kawih untuk menidurkan anaknya, seorang kakek memetik petuah kehidupan melalui kawih saat bercengkerama dengan cucunya, dan para petani bersenandung kawih saat bekerja di ladang. Kehadiran kawih begitu cair di dapur, di sawah, di sungai, hingga di balai desa. Semua momen itu memperlihatkan betapa kawih tidak membutuhkan panggung megah untuk hidup. Ia tumbuh di tengah aktivitas sederhana, mengalun bersama keseharian masyarakat. Namun ketika zaman bergerak menuju modernitas, kawih mulai menghadapi berbagai tantangan yang menggerus eksistensinya. Salah satu alasan utama memudarnya kawih adalah perubahan pola konsumsi musik masyarakat. Generasi kini lebih akrab dengan platform digital yang menawarkan musik cepat, variatif, dan bersifat global. Musik pop internasional, K-pop, hip-hop, hingga konten musik singkat dari TikTok dengan mudah mendominasi ruang dengar anak muda. Kawih, dengan tempo pelan dan bahasa tradisi, tidak memiliki daya saing yang sama dalam ruang digital yang serba instan tersebut.
Selain itu, semakin mengecilnya ruang-ruang sosial yang dahulu menjadi tempat kawih hidup turut mempercepat kemundurannya. Kegiatan adat yang dulu menyajikan kawih sebagai bagian acara kini lebih sering diganti oleh musik modern demi dianggap lebih meriah atau relevan dengan selera masyarakat. Sekolah-sekolah pun jarang memberikan porsi signifikan pada seni vokal tradisional. Banyak siswa tidak lagi mengenal kawih karena memang tidak diperkenalkan secara rutin dalam pembelajaran. Sementara itu, seniman kawih dari generasi tua semakin berkurang, dan regenerasi tidak berjalan mulus karena minimnya minat generasi muda untuk mempelajari teknik vokal tradisi yang dianggap rumit dan kurang populer. Tidak hanya persoalan minat, jarak psikologis antara generasi muda dengan seni tradisi semakin melebar. Mereka tumbuh dalam budaya visual dan digital yang menuntut hiburan cepat. Kawih, yang menuntut kedalaman rasa, kesabaran, dan kepekaan bahasa, dianggap tidak selaras dengan dunia yang bergerak terburu-buru. Pandangan semacam ini perlu diluruskan, sebab kawih justru menawarkan nilai yang kini semakin langka: ketenangan, kesantunan, dan kebijaksanaan.
Di tengah tantangan tersebut, upaya pelestarian kawih menjadi langkah yang sangat mendesak. Pelestarian tidak boleh berhenti pada upaya seremonial atau pelaksanaan festival tahunan semata. Kawih perlu dihidupkan kembali melalui pendekatan yang terstruktur dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Pendidikan menjadi pintu utama. Sekolah dapat menjadi ruang pengenalan kawih melalui pembelajaran seni budaya yang menarik dan kontekstual. Dengan memperkenalkan makna, sejarah, dan nilai filosofis kawih, generasi muda dapat memahami bahwa kawih bukan sekadar nyanyian kuno, melainkan jejak identitas dan kebijaksanaan leluhur yang patut dihargai. Selain melalui pendidikan formal, pelestarian juga dapat dilakukan melalui ruang kreatif yang mengikuti perkembangan zaman. Kolaborasi antara seniman kawih dan musisi modern dapat menjadi strategi efektif untuk memperluas audiens. Aransemen ulang, rekaman ulang dengan kualitas audio yang lebih baik, hingga penggabungan unsur tradisi dengan musik modern dapat menjadikan kawih lebih dekat dengan telinga generasi digital. Media sosial juga dapat menjadi wadah strategis. Dengan pendekatan visual yang menarik, kawih dapat diperkenalkan dalam format video pendek, dokumenter mini, atau pertunjukan live streaming.
Pemerintah dan lembaga budaya pun memiliki peran penting. Program pelestarian yang sistematis, pendataan dan digitalisasi arsip kawih, serta penyediaan ruang festival atau panggung terbuka dapat membantu kawih kembali hadir di tengah masyarakat. Ketika tradisi diberi ruang, ia akan menemukan caranya sendiri untuk hidup. Yang tidak kalah penting, pelestarian kawih membutuhkan kesadaran masyarakat. Kawih harus dilihat bukan sebagai beban warisan, tetapi sebagai kekayaan intelektual dan emosional yang nilai-nilainya sangat relevan dengan kehidupan modern. Kawih mengajarkan kebijaksanaan, kesabaran, dan kesederhanaan nilai yang tak akan pernah usang, betapapun dunia berubah
Memudarnya eksistensi kawih Sunda bukanlah sekadar persoalan menurunnya minat masyarakat terhadap seni tradisi, tetapi juga cerminan bagaimana budaya lokal menghadapi tekanan modernitas yang semakin kuat. Apabila kawih tidak segera dirawat, maka yang hilang bukan hanya sebuah bentuk seni, melainkan salah satu fondasi identitas budaya Sunda. Pelestarian harus dilakukan secara kolaboratif melibatkan sekolah, komunitas, seniman, pemerintah, dan masyarakat luas agar kawih kembali mendapatkan ruang untuk tumbuh di tengah kehidupan yang terus berubah.
Kawih Sunda mungkin sederhana, tetapi nilai yang dikandungnya sangat dalam. Melestarikan kawih berarti menjaga akar budaya agar tidak tercabut oleh arus globalisasi. Jika kita mulai dari sekarang melalui pendidikan, kreativitas, dan pemanfaatan teknologi kawih dapat kembali mengalun, bukan hanya sebagai nostalgia masa lalu, tetapi sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Sunda masa kini dan masa depan.
Referensi
Fauzi, A. R., Fauzian, Y., & Intandiani, A. N. (n.d.). Makna Simbolik dalam Kawih-Kawih Ngangkring Cariu Desa Sukadana Kabupaten Ciamis. 41–59.
Kawih, P. I., Hendrayana, D., Dienaputra, R., Muhtadin, T., & Nugrahanto, W. (2020). Pelurusan Istilah. 411–424.
Kelas, D., & Negeri, S. (2023). SWARA?: Jurnal Antologi Pendidikan Musik Pembelajaran Kawih Sunda Pada Mata Pelajaran Seni Budaya. 2(3), 21–28.