Annisa Al Dhira Jahra

Annisa Al Dhira Jahra


Dialog dengan Cermin

Cermin yang selaluku tatap, tidak pernah berbohong. Nyatanya, aku sendiri yang selalu membohonginya.

Cermin yang selaluku tatap, tidak pernah berbohong. Nyatanya, aku sendiri yang selalu membohonginya.

Setiap malam, sebelum tidur, Aku berdiri di depannya. Bukan karena ingin berdandan, tapi Menatap mata indah yang dulu selalu bercahaya kini hanya tatapan sendu dan kosong.

“Aku lelah.” Gumamku menatap cermin dan mata yang sendu itu.

“Apa yang membuatmu lelah?” Tiba-tiba terdengar bisikan di telingaku, bukan dari orang lain yang ada di samping atau di belakangku, tapi dari dalam cermin itu. Dari bibir yang bergerak bersamaan dengan milikku.  Namun nadanya berbeda, lebih tajam, seolah lebih tahu dibanding diriku.

“Aku tidak bisa harus melihatkan kerapuhanku kepada orang-orang di sekitarku.” Gumamku lagi.

“Kenapa?” terdengar lagi suara itu. Suara itu bukan suara orang lain. Itu suaraku sendiri, tapi terdengar berbeda. Lebih tegas. Lebih berani.

"Aku datang saat kamu siap mendengar."

Aku terpaku, Aku hanya mengira itu halusinasiku saja. tapi suara itu terdengar lagi, seolah-olah menungguku untuk jujur.

“Kau tahu? Kau tidak baik-baik saja!” terdengar lagi suara dalam cermin itu.

“Aku baik-baik saja.” jawabku otomatis. Jawaban yang selaluku katakan pada keluarga, teman-teman, bahkan pada diriku sendiri.

“Benarkah? Lalu mengapa ketika kau bercermin, matamu selalu menampakkan kesenduan?”

Aku diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Tanpa terasa, air mata lolos begitu saja menyentuh pipiku.

“Aku hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan orang-orang tersayangku. Aku tidak mau dikasihani oleh mereka karena melihat diriku yang rapuh.” Ucapku menatap lebih dalam cermin itu.

Air itu turun membanjiri pipi tirus ini. Bukan lagi butiran, melainkan seperti hujan deras yang membasahi bunga-bunga indah di bumi ini.

“Kenapa kau selalu menyakiti dirimu sendiri demi kebahagiaan orang lain yang belum tentu memikirkanmu?” ucap lagi cermin itu.

“Aku hanya tidak ingin mengecewakan mereka!” ucapku marah pada diriku sendiri.

Cermin itu tersenyum miring. Senyum familiar, senyum palsu yang sering kupakai saat orang-orang bertanya, “Apa kabar?”

Aku ingin menjawab. Air mata ini terus turun semakin deras. Tangisku pecah, rasanya seperti ingin teriak untuk mengeluarkan segalanya. Kepura-puraan, tekanan, kelelahan, keraguan. Semuanya.

“Sampai kapan? Sampai kapan kepura-puraan kau ini? Bahagia yang palsu, senyum ceria yang palsu, tertawa yang menyakitkan? Sampai kapan? Sampai kapan topeng kesedihanmu itu akan kau pasang?” ucap cermin itu dengan nada yang tegas, tapi terdengar sangat menusuk.

Aku terdiam mencerna semuanya. Meresapi, merenungkan semua yang telah terjadi di kehidupanku. Aku yang selalu memasang topeng keceriaanku di hadapan semua orang. Aku yang ingin berusaha mengertikan semua orang agar tidak mengecewakan mereka. Aku yang selalu mengedepankan keinginan mereka dan aku yang selalu menyakiti diriku sendiri.

“Aku harus bagaimana? Aku harus apa?” tanyaku pelan.

Cermin yang kutatap lama terdiam, seperti menarik nafas yang sangat dalam, lalu mengucapkan, “Mulai hari ini sampai seterusnya, kau harus mengikuti apa kata hatimu sendiri. Jangan sampai kau terus menerus menyakiti dirimu sendiri hanya untuk kebahagian mereka. Mungkin dengan kau begitu, akan banyak orang yang tidak suka. Tapi, dirimu akan merasa tenang dan hidup. Tidak lagi berpura-pura, tertekan, dan menyakiti dirimu sendiri.”

Aku menarik nafas dalam dengan mata yang masih sembab. Menghapus jejak-jejak air yang membanjiri pipiku dengan kasar. Aku tidak ingin lagi air mata itu keluar karena ulahku sendiri yang menyakiti diri ini.

Setelah aku merasa tenang, ada perasaan yang berbeda. Perasaan yang tenang seperti ada beban yang sedikit hilang dari diri ini. Untuk pertama kalinya, aku merasa didengarkan. Oleh diriku sendiri.

***

Keesokan harinya, saat Aku terbangun dari tidurku. Aku terdiam, ada perasaan yang lebih tenang ketika terbangun dari tidur pagi ini.

“Selamat pagi.” Ucapku menyapa diri sendiri. Seperti ada keinginan menyapa diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyapa orang-orang di luaran sana. Aku berpikir, mulai hari ini aku harus mendahulukan diriku sendiri dibanding apapun. Terdengar sangat egois, tapi Aku hanya ingin yang terbaik untuk diriku sendiri.

Lalu aku berdiri di depan cermin itu lagi. Aku menatap diriku sendiri, lalu berkata, “Kamu hebat!”

Aku tersenyum kecil. Aku harus menanamkan yang terbaik untuk diriku sendiri, tidak lagi menyakiti diri sendiri. Aku harus membahagiakan diriku sendiri sebelum membahagiakan orang lain dan tidak membohongi diri sendiri lagi.

***

Beberapa hari kemudian, nyatanya masih sama. Banyak orang yang datang padaku hanya pada saat mereka membutuhkan bantuan saja. Aku masih sedikit tidak enak jika menolak permintaan mereka. Tapi Aku harus menepati ucapanku saat itu untuk tidak membohongi diri sendiri.

Ketika itu ada yang berbeda, saat mereka membutuhkanku seperti menghadiri acara yang seharusnya mereka yang menghadiri acara tersebut, mereka yang memintaku untuk menolongnya dalam suatu hal, dan mereka yang seenaknya memerintahku. Kala itu ada yang berbeda, Aku mulai berubah, tidak lagi berbohong pada diri sendiri. Aku mulai jujur, pada diriku sendiri.

Aku mulai berani berkata, “Maaf, aku tidak bisa.”

Berani berkata, “Maaf, aku juga butuh waktu untuk sendiri,”

Berani berkata, “Maaf aku tidak bisa memaksakan diri aku.”

Memang pada awalnya, Aku merasa menjadi orang paling jahat ketika Aku tidak bisa memenuhi keinginan mereka. Merasa sedih, takut, marah, dan ragu. Tapi, mulai dari Aku mengikuti kata hatiku, dalam diriku ada perasaan yang sangat tenang dan seperti terbebas dari tekanan-tekanan dari luar. Ternyata menjadi diriku sendiri memang sedikit menakutkan, tapi jauh lebih melegakan daripada menjadi versi yang selalu diharapkan orang lain.

***

Suatu malam, setelah hari yang melelahkan. Aku berdiri lagi di depan cermin. Kali ini Aku tidak menunggu suara dari sana. Tidak butuh.

Tapi cermin itu seolah-olah tetap berbicara lewat tatapanku sendiri, tatapan yang mulai mengenali siapa aku sebenarnya.

“Terima kasih,” bisikku.

Bayanganku tersenyum. “Akhirnya kau mendengarku.”

Kini Aku sadar, cermin itu sejak awal tak pernah berkata-kata. Semua suara itu datang dari tempat yang paling sering kita abaikan, yaitu diri kita sendiri.

Setelah itu, aku tak lagi berbicara dengan cermin itu setiap malam. Setelah Aku selesai dari segala kesibukan dan urusanku, kini Aku selalu meluangkan waktu untuk berbicara dengan seseorang yang paling penting untuk kudengar yaitu aku, diriku sendiri.

Bukan untuk mencari jawaban sempurna. Tetapi untuk mengingatkan diri bahwa menjadi manusia bukan tentang menjadi sempurna, bukan menjadi orang yang selalu ada untuk orang lain, bukan menjadi orang yang selalu harus terlihat sempurna di depan orang lain. Melainkan menjadi orang yang jujur, terutama jujur pada diri sendiri.

Setiap orang memiliki cermin masing-masing. Bisa berupa pantulan, bisa berupa kenangan, bisa berupa suara kecil dalam hati dan yang penting bukan cerminnya. Tapi keberanian untuk berdiri di depannya, dan berkata:

 

“Ini aku. Dan aku cukup.” Tidak lupa juga untuk selalu mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri untuk hal hal sudah didapatkan dan dilakukan, karena yang terbaik untuk kita adalah diri sendiri.

Tamat 



Tags